Awalnya aku melakukan empat kesalahan. Aku menyuntukkan diri untuk selalu mengingat Tuhan, untuk mengenal-Nya, untuk mencintai-Nya dan mencari-Nya. Ketika aku telah sampai di ujung perjalanan aku menyaksikan bahwa Dia telah mengingatku sebelum aku mengingat-Nya. Pengetahuan-Nya tentang aku telah mendahului pengetahuanku tentang Dia. Cinta-Nya terhadapku telah lama sebelum cintaku kepada-Nya dan Dia telah mencari aku sebelum aku mencari-Nya.
Aku berpikir bahwa aku telah sampai di Tahta Tuhan dan berkata kepadanya: “Wahai Sang Tahta, mereka memberitahuku bahwa Tuhan bersemayam di atasmu.” “Oh Bayazid,” jawab Tahta, “kami diberitahu bahwa Dia bersemayam dalam jiwa yang sederhana.”
(Abu Yazid Thaifur al Bisthami)
Hal terbaik bagi hamba, yang ingin berdekatan dengan Tuhannya, adalah untuk tidak memiliki apapun di dunia ini atau di dunia esok kecuali Dia semata. Aku tidak mengabdi kepada Allah karena ketakutan akan Neraka, karena aku akan menjadi seorang hamba yang buruk, jika aku melakukannya karena rasa takut. Tidak juga karena Surga, karena aku akan menjadi hamba yang buruk jika aku mengabdi demi apa yang diberikan. Tetapi aku telah beribadah kepada-Nya hanya semata karena kecintaanku kepada-Nya dan karena hasratku hanya kepada-Nya.
Oh Tuhanku, jika aku menyembah-Mu karena takut akan neraka, bakarlah aku di Neraka. Dan jika aku menyembah-Mu karena mengharapkan Surga, buanglah aku dari sana, tutup pintunya untukku. Tetapi jika aku menyembah-Mu karena Engkau semata, maka jangan palingkan wajah-Mu, jangan tampik aku dari Kecantikan Abadi-Mu.
Aku telah menjadikan-Mu Sahabat kalbuku,
Tetapi tubuhku siap sedia bagi mereka yang menginginkan persahabatan
Dan tubuhku akrab dengan tamu-tamunya,
Tetapi Sang Kekasih hatiku adalah Tamu jiwaku.
(Rabi’ah al ‘Adawiyah)
Tahap pertama bagi hamba yang telah menemukan pengetahuan tentang kemenyatuan dan kebenaran, adalah bahwa di sana telah hilang dari kalbunya semua ingatan kepada benda-benda dan dia menyendiri bersama Tuhan Yang Maha Tinggi. Karena tahap pertama kemenyatuan adalah bahwa sang hamba menyerahkan segalanya dan mengembalikan semua benda kepada-Nya dan kepada Siapa milik semua itu dan bahwa Dia-lah yang mengendalikannya dan membuatnya kembali kepada Diri-Nya. Jadi demikianlah, ingatan terhadap semua benda lepas dari kalbu sang hamba dan ingatan kepada Tuhan Yang Maha Tinggi menggelayuti kalbunya dan ingatan terhadap benda-benda lepas dari kalbunya ketika mengingat Tuhan Yang Maha Mulia.
Terberkahilah manusia yang telah minum dari cangkir cinta-Nya dan mengecap kesenangan bercakap dengan Tuhan Maha Mulia dan telah mendekati-Nya dengan suka dalam kecintaan kepada-Nya. Kalbunya penuh dengan cinta dan, penuh suka, dia telah mendekati Tuhan dan datang kepada-Nya, dengan penuh kerinduan kepada-Nya. Betapa besar jeritan cinta dan sendu kerinduan untuk Tuannya! Dia tidak memiliki tempat tinggal kecuali dalam Dia, tiada pula teman akrab baginya kecuali Dia.
(Abu Sa’id Ahmad bin Isa al Kharraz)
Jika Engkau menempatkan di depanku api Neraka, dengan semua kandungan siksa, aku akan memikirkan sedikit tentangnya dibanding keadaanku ketika Engkau sembunyi dariku. Ampunilah orang-orang itu dan jangan ampuni aku, dan berkahilah mereka dan jangan berkahi aku. Aku tidak meminta ampunan kepada-Mu untuk diriku sendiri maupun memohon kepada-Mu untuk kebutuhanku sendiri. Lakukan apapun yang Engkau kehendaki terhadapku.
Aku adalah Dia Yang aku cintai dan
Dia Yang aku cintai adalah Aku,
Kami adalah dua ruh yang berkelindan dalam satu jasad.
Ketika kau melihatku, kau melihat-Nya,
Dan ketika kau melihat-Nya,
Maka sesungguhnya kau melihat Kami berdua.
(Husain bin Manshur al Hallaj)
Doa sejati yang paling tinggi adalah perenungan Tuhan dengan kalbu yang murni, yang terlepas dari semua hasrat keduniawian, tidak terpaku dengan sikap-sikap jasmaniah, melainkan dengan gerak-gerik jiwa. Jiwa semacam ini memohon pada Dzat Yang Maha Tinggi, untuk kesempurnaannya sendiri, melalui perenungan kepada-Nya, dan untuk kebahagiaannya yang tertinggi, melalui pengetahuan segera tentang Dia. Di atas jiwa ini kemuliaan Ilahi terpancar, ketika hamba sedang berdoa.
(Ibnu Sina)
Dari dunia ini, tepatnya dalam Rumah-Mu,
Tuan, dengan riang aku melangkah ke sana,
Tak peduli kekalahan atau kemenangan yang
Aku peroleh, jika Engkau perintahkan demikian,
Tidak, demi Engkau semata,
Jika Engkau menawanku, akan aku lemparkan diriku ke dalam Api,
Dan aku tawarkan jiwaku jika Kau mau.
Jalan-Mu, ke mana pun kami melangkah,
Dalam setiap jengkal, begitu indah
Pertemuan dengan-Mu,
Apapun yang akan terjadi, pun begitu indah.
Setiap kali mata menatap Wajah-Mu,
Aku temukan Keindahan di sana,
Pujian-Mu, apapun yang diberikan lidah kepada-Mu, begitu indah.
Ketika wewangian-Mu, oleh angin sepoi-sepoi,
Dari nun jauh sana turun kepadaku,
Kemudian kalbuku melambai selamat tinggal dan berangkat mencari-Mu;
Telah lama aku lupa jasadku,
Yang pernah menjadi tempat berdiam,
Karena wewangian-Mu yang kuambil,
Bersama Dzat-Mu.
(Abu Sa’id bin Abu al Khair)
Ketika aku menjadi seorang budak: Nista adalah tuanku,
Tatkala Nista menjadi hambaku, aku bebas:
Kutinggalkan bayang-bayang manusia untuk mencari Kehadiran-Mu,
Kesepian, kutemukan Engkau dalam kelompokku,
Bukan di dunia ini tempat harta karun berada,
Bukan oleh orang yang jumud,
Yang tidak mengenal Engkau,
Yang mencelaku, menganggap bahwa pencarianku adalah bodoh,
Tetapi yakinku, Engkau akan senantiasa bersamaku.
(Abu Hamid al Ghazali)
Kemanapun kau mendaki, biarkan ia menuruti Ruh Ilahi di dalam dirimu: jangan mendaki melawannya, tetapi dakilah di atas perangkap-perangkap bumi, untuk mencapai tempat-kediaman Yang Maha Tinggi, melintasi perbatasan-perbatasan dunia ruh dengan mata jasad Ilahiah-mu. Lepaskan kecongkakan yang sombong agar kau temukan pintu masuk menuju Kerajaan Tuhan, karena rumah besar keabadian itu dipersiapkan untukmu dan dunia yang sementara ini bukanlah rumah sejatimu – lepaskan hari ini dan korbankan kehidupanmu demi hari esok…
Terjagalah dan tinggalkan dunia ini dalam rangka menemukan Dia Sang Tuhan. Tinggalkan jasadmu dan kehidupanmu serta akalmu juga keyakinanmu, dan di Jalan-Nya kau temukan untuk dirimu sendiri sebuah jiwa. Jika kau berharap untuk memiliki sebuah batu intan, wahai manusia, tinggalkan gurun ini dan berjalanlah di pinggir laut. Berjuanglah di jalan Tuhan. Wahai tentara: jika kau tak memiliki ambisi, kau tidak akan memiliki kehormatan tetapi manusia yang memandang rendah jasadnya sendiri akan berjalan di atas udara seperti apai. Dia yang menjelajah cinta menuju Tuhan, seperti sebuah lilin di Jalan-Nya, seperti sebuah lilin yang bermahkota api.
(Abul Majdud bin Adam Sana’i)
Pujilah Dia yang tak bisa disaksikan oleh pandangan, dan yang pikiran tidak mampu mencari kesamaan-Nya: kepada-Nya segala syukur dan pujian. Engkau yang memberi dan Engkau pulan yang mengambil: Engkau adalah Semua Rahmat dan Semua Yang Kekal. Terpujilah Dia, karena milik-Nya kekuasaan atas semua dan kepada-Nya semua akan kembali.
Dari tahap “aku” sang pencari melangkah menuju tahap “aku bukan” dan “Kau adalah”, dan kemudian ke tahap “aku bukan dan Engkau bukan”, karena dia sekarang telah menyatu dengan Dia. Penglihatan Tuhan dan penerimaan Cahaya-Nya berarti penyatuan dan kemanunggalan dengan Dzat-Nya, Yang adalah Cahaya dari Segala Cahaya.
(Syihabuddin Suhrawardi Halabi al Maqtul)
Pecinta tidak mencemaskan kehidupannya sendiri, karena dia yang menjadi seorang pecinta, apakah dia asketis atau awam, siap mengorbankan hidupnya demi cinta. Jika ruhmu berada dalam kebencian dengan jiwamu, korbankan jiwamu dan kau akan mampu melanjutkan perjalanan tanpa halangan. Jika jiwamu adalah sebuah halangan bagimu di jalan itu, singkirkan ia, kemudian lihatlah lurus ke depanmu dan pasrahkan dirimu kepada perenungan.
Jika kau diperintah untuk melepaskan keyakinan atau untuk menyerahkan kehidupanmu, singkirkanlah keduanya: lepaskan keyakinan dan korbankan hidupmu. Jika seseorang yang jumud terhadap hal-hal yang spiritual mengatakan bahwa tidaklah benar bahwa Cinta hendaknya lebih disukai daripada kekafiran dan keyakinan, katakan kepadanya: “Apa kaitannya Cinta dengan kekafiran atau keyakinan?” Apakah para pecinta mencemaskan jiwa-jiwa mereka? Seorang pecinta membakar seluruh hasil panen: dia meletakkan sebilah pisau di lehernya sendiri dan menusuk badannya sendiri. Penyiksaan dan kesengsaraan adalah tentang Cinta itu sendiri. Barangsiapa menancapkan kakinya kuat-kuat di rumah Cinta seketika itu melepaskan kekafiran dan keyakinan.
Seluruh dunia adalah wadah untuk Cinta,
Karena sia-sialah ia, yang menjauh dari Cinta.
Kebajikan Abadi membuat semua dalam Cinta:
Pada Cinta mereka bergantung, kepada Cinta mereka kembali.
Bumi, langit-langit, matahari, bulan, bintang-gemintang
Pusat orbit mereka bertemu dalam Cinta.
Dengan Cinta semua terkagum dan terpesona,
Teracuni mereka dengan Anggur Cinta.
Dari setiap, Cinta menuntut diamnya seorang mistikus,
Apa yang mereka cari dengan penuh harap? Cinta ini.
Cinta adalah pokok pemikiran terdalam mereka,
Dalam Cinta tak ada lagi “Kau” dan “Aku”
Karena diri telah melebur dalam Sang Kekasih,
Dan di kuil jiwaku yang terdalam
Memandang Sahabat, Cinta Yang Tak Terperi,
Siapa yang akan mengenal rahasia dua dunia
Akan menemukan rahasia keduanya, yakni Cinta.
(Fariduddin ‘Aththar)
Dalam kalbuku, segala bentuk tercipta,
Pelataran-pelataran biara, kuil-kuil bagi berhala,
Sebuah padang rumput untuk sekawanan rusa,
Rumah Suci Tuhan, bagi semua Muslim yang memalingkan wajah kepadanya
Lembaran-lembaran Taurat Yahudi,
Al Qur’an yang terwahyukan kepada Nabi sejati-Nya.
Cinta adalah keyakinan yang aku genggam,
Dan kemanapun
Unta-unta-Nya berlarian, inilah satu keyakinanku.
Tak ada keberadaan kecuali keberadaan-Nya. Untuk ini Nabi menegaskan seraya berkata: “Jangan caci-maki dunia, karena Tuhan adalah dunia,” menunjuk pada kenyataan bahwa keberadaan dunia adalah keberadaan Tuhan tanpa sandingan atau keserupaan atau persamaan.
Terkisahlah bahwa Nabi menyatakan bahwa Tuhan berkata kepada Musa: “Wahai hamba-Ku, Aku sakit dan kau tidak mengunjungi-Ku. Aku meminta bantuanmu dan kau tidak memberikannya pada-Ku,” dan ungkapan-ungkapan lainnya yang serupa. Ini berarti bahwa keberadaan peminta adalah keberadaan-Nya dan keberadaan orang yang sakit adalah keberadaan-Nya.
(Muhyiddin ibnu al ‘Arabi)
________________________________
Sumber:
Mistikus Islam karya Margaret Smith
http://segelaskopicinta.blogspot.com/2012/05/keindahan-sang-kekasih-di-kalbu.html
Post a Comment Disqus Facebook