Ada kebahagiaan rahasia bersama perut yang kosong.
Kita cuma alat musik petik, tak lebih, tak kurang.
Kotak suara penuh, musik pun hilang.
Bakar habis segala yang mengisi kepala dan perut dengan menahan lapar, maka setiap saat irama baru akan keluar dari api kelaparan yang nyala berkobar.
Ketika hijab habis terbakar, keperkasaan baru akan membuatmu melejit berlari mendaki setiap anak tangga di depanmu yang digelar.
Jadilah kosong, lalu merataplah seperti indahnya ratapan bambu seruling yang ditiup pembuatnya. (*1)
Lebih kosong, jadilah bambu yang menjadi pena (*2), tulislah banyak rahasia-Nya.
Ketika makan dan minum memenuhimu, iblis duduk di singgasana tempat jiwamu semestinya duduk: sebuah berhala buruk dari logam duduk di Ka’bah.
Ketika kau berpuasa menahan lapar, sifat-sifat baik mengerumunimu bagai para sahabat yang ingin membantu.
Puasa adalah cincin Sulaiman (*3). Jangan melepasnya demi segelintir kepalsuan, hingga kau hilang kekuasaan.
Namun andai pun kau telah melakukannya, sehingga seluruh kemampuan dan kekuatan hilang darimu, berpuasalah: mereka akan datang lagi kepadamu, bagai pasukan yang muncul begitu saja dari tanah, dengan bendera dan panji-panji yang berkibaran megah.
Sebuah meja akan diturunkan dari langit ke dalam tenda puasamu, meja makan Isa (*4). Berharaplah memperolehnya, karena meja ini dipenuhi hidangan lain, yang jauh, jauh lebih baik dari sekedar sup kaldu sayuran.
(Jalaluddin Rumi, terjemahan Bahasa Indonesia oleh Herry Mardian)
_________
Keterangan:
(*1) Seorang yang sudah mati sebelum mati atau mati dari dirinya sendiri itu tak ubahnya seruling yang bagian tengahnya kosong; dia berserah diri sepenuhnya kepada Allah, dan hanya berbunyi jika Sang Pemilik memainkannya, melantunkan nada-nada yang Dia perintahkan. Dalam thariqah, para salik melakukan riyadhah, yaitu upaya untuk melatih agar seseorang bisa belajar untuk mati sebelum mati. Simak puisi Rumi berikut:
Bukan kayu kokoh yang bisa menjadi seruling, tapi bambu kosong. Sempurnanya kekosongan dan keberserahdirian qalb-lah yang memberi ruang bagi turunnya pesan-pesan agung, sebab sang utusan hanyalah seruling kosong, yang menyuarakan hembusan nafas suara-Nya.
Perbedaan dia dengan manusia kebanyakan, adalah manusia kebanyakan penuh berisi dirinya sendiri.
Dalam puisi di atas, Rumi memakai simbol seruling untuk menggambarkan bagaimana seruling itu bisa berbunyi menyanyikan lagu karena di bagian tengahnya kosong. Jika bagian tengah seruling itu disumpal oleh sesuatu, maka seruling tak akan berbunyi indah. Inilah signifikansi thariqah sebagai jalan pertaubatan yang menawarkan metode riyadhah untuk ‘latihan mati sebelum mati’, serta peran mursyid yang menjadi pembawa jalan dan metode tersebut. Hal semacam ini tak akan bisa dilakukan hanya dengan obrolan dan diskusi tashawwuf di berbagai kursus atau forum diskusi, karena itu tak ubahnya membicarakan tentang tata cara berenang tanpa pernah masuk ke kolam untuk kemudian berlatih sambil diajari dan diawasi oleh sang pelatih renang.
(*2) Kitab-kitab suci ditulis dengan pena bambu dan pena alang-alang yang dicelup ke dalam tinta. Diri yang sudah kosong—seperti bambu—akan menjadi alat-Nya untuk menuliskan khazanah-Nya.
(*3) “Cincin Sulaiman” konon adalah sumber kekuasaan. Legenda mengatakan, ‘barangsiapa yang mengenakan cincin Nabi Sulaiman, ia akan memperoleh kekuasaan’. Sebenarnya “cincin Sulaiman” adalah cincin tembaga atau besi murahan yang diukir dengan kata-kata “Ini pun akan berlalu”. Jika bel
iau merasa senang, ia menyadari bahwa kesenangannya adalah sementara sehingga ia menjadi sabar. Demikian pula, jika beliau merasa sedih, dengan melihat ke cincinnya ia menyadari bahwa kesedihannya bersifat sementara sehingga ia juga menjadi sabar dan ridha. “Cincin Sulaiman”, yang barangsiapa memilikinya konon akan memperoleh kekuasaan besar, adalah kesabaran.
(4) “Meja Isa” adalah meja tempat Nabi Isa makan bersama para murid-muridnya dan menjamu mereka, setelah beliau dibangkitkan dari kematian.
Post a Comment Disqus Facebook