Hikmah, Gagasan Cinta Dan Anekdot Dalam Sastra Sufi*
Abdul Hadi W. M.
Dalam sejarah tradisi intelektual Islam tak sedikit para Sufi menempati kedudukan istimewa. Selain dikenal masyarakatnya sebagai guru makrifat, tidak sedikit di antara mereka merupakan sastrawan terkemuka dan seniman ulung pada zamannya. Contoh yang masyhur ialah Fariduddin al-‘Attar, Jalaluddin Rumi, Ibn `Arabi, Ruzbihan al-Baqli, Fakhrudin `Iraqi, Hafiz dan Jami dalam sastra Persia. Di Nusantara ahli tasawuf yang juga dikenal sebagai sastrawan ulung ialah Sunan Bonang, Hamzah Fansuri, Syamsudin Pasai, Nuruddin al-Raniri, Bukhari al-Jauhari, Raja Ali Haji, Ronggowarsito dan K.H. Hasan Mustafa. Fariduddin al-`Attar misalnya, bahkan lebih dikenal sebagai penulis alegori-alegori sufistik yang tak tertandingi dalam bahasa Persia.
Sejak muda Sufi dari Nisyapur abad ke-12 ini memang dikenal sebagai tukang cerita yang piawai. di samping ahli farmasi dan minyak wangi. Toko obat dan minyak wanginya yang besar di Nisyapur senantiasa ramai dikunjungi orang. `Attar sering melayani pasien-pasiennya seraya menyampaikan kisah-kisah yang menarik. Di antara kisah-kisah yang dituturkan itu kemudian ada yang digubah menjadi alegori sufi. Misalnya yang masyhur ialah Mantiq al-Tayr (Musyawarah Burung) dan Asrar-namah (Kitab Rahasia-rahasia).
Sebagaimana karya sastrawan Sufi pada umumnya, tema pokok karya `Attar adalah cinta ilahi (`isyq), sebuah gagasan tentang jalan dan metode kerohanian mencapai kebenaran. Dalam Mantiq al-Tayr misalnya, Cinta ditempatkan dalam lembah (maqam) kedua dalam perjalanan burung-burung (lambang roh manusia yang merindukan asal-usul kerohanian dan ketuhanannya) dari tujuh lembah yang harus dilalui untuk menemui raja diraja mereka Simurgh, lambang hakekat ketuhanan dan hakekat diri manusia. Lembah pertama ialah talab (pencarian), sedang lembah ketiga ialah makrifat, selanjutnya lembah ketenangan kalbu, ketakjuban, fana dan baqa. Dalam lembah pertama dan kedua itu banyak godaan, kesukaran dan kebingungan yang dihadapi seorang pencari kebenaran. Seseorang sering menyangka cinta pada dunia, cinta pada lain jenis disebabkan hawa nafsu dan amal perbuatan lain yang didasarkan atas kepentingan diri sebagai cinta sejati.
Meskipun gagasan cinta Sufi itu didasarkan pada metafisika keagamaan dan bersifat transendental, serta dalam mencernanya diperlukan pengetahuan dan pengalaman luas, namun tidak jarang gagasan tersebut disampaikan secara sederhana melalui kisah perumpamaan, anekdot dan puisi yang menarik. Karya mereka sangat melimpah, memenuhi sebagian besar khazanah sastra Islam abad ke-11 – 19 M, mencakup sastra Islam Arab, Persia, Urdu, Turki Usmani, Asia Tengah, Hindi, Sindhi, Bengali, Pasthun, Uyghur, Swahili, Melayu, Jawa dan lain-lain.
Walaupun bertolak dari tema pokok tunggal, yaitu cinta ilahi, tidak berarti karya Sufi tidak anekaragam dan hanya mengungkapkan masalah kerohanian atau cinta transendental. Tidak jarang karya mereka mengandung kritik sosial; di antaranya sindiran terhadap kaum legalis formal dan ulama yang mengagungkan tafsir formal dan rasional terhadap ajaran agama. Karena itu tak mengherankan serangan terhadap Sufi pada umumnya datang dari mereka. Demikianlah yang diungkapkan dalam kesastraan sufi itu bukan semata-mata pengalaman dan keadaan jiwa yang dialami ahli suluk dalam menempuh jalan cinta dan makrifat; melainkan juga contoh-contoh dalam kehidupan individu dan masyarakat yang berkaitan dengan amal dan ibadah. Misalnya tentang ikhtiar dan perjuangan manusia yang tak kenal lelah mencapai kebenaran, serta godaan-godaan hawa nafsu yang sering tak dapat diatasi dengan akibat hatinya keruh dan penglihatan batinnya kabur terhadap hakekat ajaran agama.
Misalnya kisah burung beo yang dicukur gundul oleh majikannya dalam Matsnawi karya Rumi. Rumi menyindir pandangan kaum formalis dan orang yang suka meniru pendapat orang lain, tanpa mengerti inti persoalannya. Diceriterakan. seorang pedagang memiliki seekor burung beo yang pandai bicara. Suatu hari tuannya pergi ke masjid untuk salat lohor. Burung itu disuruh menjaga kedai. Merasa mendapat kebebasan, burung itu bermain-main sesuka hati. Tanpa disengaja kakinya menyentuh botol minyak goreng. Botol jatuh dan pecah, isinya tumpah. Sebagai ganjaran bagi perbuatannya pedagang memberi hukuman: bulu di kepalanya dicukur sampai gundul. Keesokan harinya seorang professor yang botak kepalanya lewat di depan kedai itu. Merasa menemukan teman senasib, burung beo itu berteriak, ”Hai Kawan Gundul! Mengapa kepala tuan sampai botak? Apa tuan menumpahkan minyak goreng seperti saya?” Orang yang mendengarnya tertawa terbahak, sebab beo itu mengira professor itu sederajat dengan dirinya.
Yang disindir dalam kisah tersebut ialah orang yang berpandangan picik, yang menilai segala sesuatu berdasarkan pengetahuan dan pengalaman pribadinya yang picik. Juga disindir kebiasaan kaum formalis yang menafsirkan ajaran agama semata-mata berdasarkan pengertian legalistik formal. Seperti burung beo milik pedagang itu, kaum formalis sering tak dapat membedakan pengetahuan orang arif dan dirinya karena melihat ilmu dari segi lahirnya semata-mata. Nabi, kata Rumi, makan dan minum seperti manusia biasa. Secara lahir beliau sama dengan manusia biasa. Namun secara batin beliau bukan manusia biasa. Beliau memiliki pengetahuan, akhlaq dan kepribadian yang tak dimiliki orang lain, termasuk para sahabat, wali dan ulama. Tutur Rumi:
Jangan mengukur orang arif dan orang suci
Melalui ukuran yang berlaku atas dirimu ;
Cara menulis kata sher (singa) dan shir (susu) mirip
Namun keduanya memiliki makna yang berbeda.
Apabila cara pandangmu seperti itu
Maka seluruh dunia tak akan ada artinya;
Memang tidak banyak orang
Yang pantas disebut hamba Tuhan sejati.
Mereka mengaku sama dengan nabi dan wali
Mereka mengira wali seperti mereka juga.
”Lihat!”, kata mereka, ”Kami ini manusia,
Mereka juga manusia; kami dan mereka
Sama-sama terikat pada tidur dan makan.
Dalam kebutaannya mereka tak tahu
Bahwa antara keduanya terbentang jarak luas
Tawon dan lebah memang makan
Dari sumber yang sama; Namun yang satu
Hanya memiliki sengatan menyakitkan
Sedang yang lain membuat madu yang lezat.
Sindiran terhadap orang yang merasa puas dengan tafsir formal yang dangkal terhadap segala sesuatu, termasuk ajaran agama, lebih jelas dikemukakan Rumi dalam ”Kisah Lalat dan Pemahamannya Terhadap Kehidupan”:
Seekor lalat mengangkat tinggi kepalanya
Membayangkan dirinya pengemudi kapal besar
Padahal ia hanya berdiri di atas batang padi
Yang bergerak di atas genangan air hujan.
“Kini kulihat lautan luas dan ini kapal besar,
Sebelum menafsir aku telah memikirkannya
Secara mendalam dan lama. Lihat!
Ini lautan dan ini kapal yang berlayar di atasnya!
Sedang aku adalah mualim yang bijak dan handal.
Lantas ia pun mendorong rakit itu ke lautan genangan air
Air yang hanya segayung kelihatan banyak tak terkira,
Apalagi jika dibandingkan dirinya yang kerdil.
Di mana penglihatan hatinya disembunyikan
Sehingga dapat melihat hakekat yang sebenarnya?
Keluasan dunia si lalat hanya sebatas pandangannya
Matanya terasa besar, laut air hujan tampak luas
Dalam tembok pandangannya yang picik.
Supaya lebih seru dan relevan saya ingin menunjukkan sebuah kisah karangan seorang penulis Sufi Melayu abad ke-18, Hikayat Maharaja Ali, sebuah hikayat yang dipuji oleh banyak pakar sastra termasuk V. I. Braginsky sebagai cerita berbingkai yang sangat menawan serta kaya dengan pesan moral dan kerohanian. Pengarang berhasil merajut tema cinta dan keadilan.
Maharaja Ali memerintah di negeri Badraga. Karena selama beberapa tahun dari perkawinannya dengan permaisuri Hasinan tidak dianugerahi seorang anak, maka dia rajin berdoa serta memohon kepada Tuhan agar dianugerahi buah hati. Tidak berapa lama kemudian permaisuri melahirkan seorang anak lelaki. Selang berapa tahun kemudian anaknya yang kedua dan ketiga lahir, juga lelaki. Seorang tokoh paranormal terkemuka meramalkan bahwa kelak anak sulungnya akan menjadi sumber malapetaka karena perangainya yang buruk. Maharaja Ali disarankan agar membuang anaknya itu jauh-jauh dari sisinya. Saran itu diabaikan karena maharaja dan permaisuri sangat menyayangi anak-anaknya.
Ramalan paranormal ternyata benar. Setelah dewasa tabiat buruk Baharum Syah, putra sulung maharaja Ali, semakin tampak. Dia gemar membunuh, menganiaya dan memperkosa anak para pejabat dan pegawai istana, serta mengambil istri orang lain dengan kekerasan. Rakyat negeri Badraga tidak tahan lagi. Dia meminta Maharaja Ali dan keluarganya pergi jauh-jauh meninggalkan negeri, seraya mengancam apabila raja tidak mau pergi maka rakyatlah yang akan meninggalkan negeri Badraga. Karena begitu kuatnya desakan rakyat, Maharaja Ali sekeluarga akhirnya pergi meninggalkan negerinya. Dalam perjalanan, di tengah hutan Maharaja Ali diserang perampok. Seluruh miliknya ludes dirampas. Anak sulungnya lari dan tersesat di hutan rimba.
Maharaja Ali serta permaisuri dan dua anaknya melanjutkan perjalanan. Mereka tiba di negeri Kabitan. Raja negeri itu bernama Sardala. Pada suatu hari Hasinan dan dua anaknya pergi ke kota untuk minta sedekah. Seorang wazir melihat kecantikan Hasinan dan memberi tahu raja Sardala. Dengan berbagai tipu muslihat mereka memancing Hasinan masuk istana, dan menutup pintu gerbang. Dua anaknya tidak diperbolehkan masuk ke dalam.
Mendengar istrinya masuk ke dalam jerat raja Sardala, Maharaja Ali sakit hatinya. Dia pun meneruskan perjalanan dengan dua anaknya yang masih kecil. Suatu hari sampailah mereka di tepi sungai besar. Maharaja Ali berusaha menyeberang tetapi disambar oleh buaya. Seketika Maharaja Ali tewas. Dua anaknya dipiara seorang penambang miskin. Sementara itu raja Serdala berusaha membujuk Hasinan supaya mau menjadi gundiknya. Untuk mengulur waktu, Hasinan menyampaikan sebuah cerita yang panjang selama berhari-hari kepada raja Sardala. Namun raja Sardala terus membujuk dan merayu Hasinan. Karena pertahanannya semakin lemah, Hasinan berdoa dan memohon agar Tuhan menjatuhkan penyakit lumpuh kepada Serdala. Dengan demikian raja itu tidak berdaya lagi untuk merayunya.
Sekali peristiwa Nabi Isa menjumpai tengkorak Maharaja Ali di tepi sungai. Tengkorak itu bercerita panjang lebar tentang nasibnya yang malang di dunia, walaupun dia seorang raja yang pernah berkuasa, dan meminta Nabi Isa agar berdoa untuknya serta berharap Tuhan menghidupkan lagi dirinya agar bisa bertemu istri yang dicintai dan dapat memerintah kembali di negeri Badraga sebagai raja yang adil serta dicintai rakyat. Berkat pertolongan Allah s.w.t. Setelah Maharaja Ali bertobat, Nabi Isa menghidupkannya kembali dan menobatkannya menjadi raja di negeri Badraga. Kecuali itu Nabi Isa mengajari Maharaja Ali ilmu kedokteran dan mujarobat. Dua putranya yang diasuh penambang tiba istana meminta sedekah. Maharaja Ali yang tidak lagi mengenalnya mengangkat mereka sebagai biduanda.
Nama Maharaja Ali sebagai penguasa yang adil di negeri Badraga dan pandai mengobati segala penyakit, masyhur ke mana-mana. Raja Serdala yang mendengar berita itu segera pergi kepadanya untuk berobat. Maka pergilah ia bersama Hasinan berlayar ke Badraga. Raja Serdala diterima oleh Maharaja Ali dengan berbagai kehormatan, dan menyuruh dua orang biduandanya pergi ke kapal, menjaga istri raja Serdala. Setiba di kapal biduanda itu bercakap-cakap satu dengan yang lain, dan Hasinan yang secara kebetulan mendengar percakapannya itu mengetahui bahwa mereka adalah dua orang anaknya yang hilang. Penuh kegembiraan dipeluk dan diciumnya kedua anaknya itu. Maharaja Ali yang mendapat laporan tentang kejadian itu marah dan bertindak. Dia memerintahkan agar kedua biduandanya itu dijatuhi hukuman mati.
Setelah beberapa hari dua biduanda itu meringkuk dalam penjara, baru hukuman matinya dilaksanakan. Ternyata algojo yang diberi tugas memancung kedua tahanan itu adalah Baharum Syah, anak sulung Maharaja Ali sendiri. Sangat beruntung sebelum hukuman mati dilaksanakan dua biduanda itu sempat bercakap-cakap dan percakapan mereka didengar oleh alogojo. Melalui percakapan itu Baharum Syah tahu bahwa dua biduanda itu tidak lain adalah adik kandungnya yang terpisah lama. Pagi-pagi sekali algojo menghadap Maharaja Ali dan bercerita tentang semua yang didengarnya. Kini jelaslah bagi Maharaja Ali bahwa Hasinan adalah istrinya sendiri, dua biduanda dan algojo adalah putra-putranya sendiri. Setelah raja Serdala berhasil disembuhkan Maharaja Ali menyuruhnya pulang. Raja Serdala mendapat istri baru hadiah Maharaja Ali, yakni putri seorang menteri yang tak kalah cantik dan bahkan jauh lebih muda dari Hasinan.
Mengenai hikayat ini V. I. Braginsky (2000) berkomentar, ”Isi hikayat ini ditentukan oleh perpaduan dua tema pokok. Yang partama tema tentang raja yang sangat mencintai keluarganya sehingga melupakan kewajibannya yang asasi, yaitu menjalankan pemerintahan yang adil. Yang kedua tema tentang kesetiaan seorang perempuan. Dua tema yang saling jalin-menjalin ini, serta pertentangan internalnya yang terpendam dalam tema yang pertama (yaitu cinta keluarga yang nilainya positif vs. pelanggaran kewajiban disebabkan oleh cinta ini, yang nilainya negatif) melahirkan ‘tekstur’ Hikayat Maharaja Ali: konflik etika yang sengit dan tajam antara kewajiban dan perasaan (baca juga sebagai hawa nafsu, penulis)”.
Melalui kisah di atas sekurang-kurangnya tampak bahwa cinta, yang dalam banyak hal bersifat positif, tidak selamanya baik apabila bertentangan dengan kewajiban moral seseorang selaku hamba dan khalifah Tuhan di muka bumi. Seorang raja pertama-tama harus mencintai Tuhan dan kewajiban seorang pencinta ialah mematuhi perintah-Nya dengan melaksanakan syariah dan amanah yang dibebankan kepadanya. Amanah utama seorang raja ialah memerintah dengan adil. Adil adalah bentuk lain dari cinta, sebab adil adalah pintu menuju kebenaran dan cinta sejati. Seorang raja menjadi adil karena cinta kepada rakyatnya dan menaati perintah agama.
Dalam kaitannya dengan gagasan cinta ilahi, saya juga ingin mengutip uraian dalam mukadimah Undang-undang Adat Minangkabau, sebuah karya klasik Melayu yang dinafasi ajaran tasawuf. Dalam kitab itu dikemukakan bahwa setiap orang dan segala sesuatu di muka bumi adalah raja pada tempatnya. Seorang hakim, sarjana, ulama, guru besar, sastrawan, menteri, tukang sapu, pelukis, wartawan dan lain sebagainya adalah raja pada tempatnya. Raja yang baik itu ialah raja yang adil kepada Tuhan, sesama dan dirinya sendiri. Adil berarti berbuat benar disebabkan mencintai kebenaran dan sudi melaksanakan perbuatan yang sesuai dengan kebenaran (khususnya kebenaran yang diajarkan agama).
Cinta Maharaja Ali dalam kisah yang telah dipaparkan, bukanlah cinta yang benar, karena cinta seperti semata-mata didasarkan oleh perasaan dan kepentingan diri sendiri dan melupakan cinta lain yang tidak kalah pentingnya.
Penulis-penulis Sufi memandang bahwa peringkat-peringkat cinta ada hubungannya dengan etika dan peringkat moral seseorang, serta kecil besarnya kepentingan diri yang terkandung di dalamnya. Pada saat yang sama cinta juga dipandang sebagai metode tertinggi dalam mengenal hakekat segala sesuatu atau rahasia tersembunyi kehidupan yang menggerakkan nasib dan perbuatan seseorang. Ringkasan Kisah Masyarakat Binatang dan Singa yang dipaparkan Rumi dalam Matsnawi mungkin dapat memberikan penjelasan Dalam kisah ini dipaparkan pertentangan antara kepercayaan pada takdir dan kehendak bebas (free will), serta antara metode cinta dan metode rasional. Metode cinta dicapai dengan memperbanyak ibadah dan melaksanakan disiplin kerohanian, dan hasilnya adalah makrifat serta pengetahuan langsung dari Tuhan yang disebut ilham.
”Sekelompok binatang liar tinggal di lembah dekat hutan yang lebat. Keberadaan tiba-tiba mereka terganggu oleh kehadiran Singa. Kijang, serigala, rubah, kelinci dan hewan lain berunding dan menyusun siasat untuk melembutkan hati Singa agar tidak menjadi ancaman. Mereka lantas menemui Singa dan meminta agar Singa tidak berkeliaran sehingga mengganggu keberadaan binatang lainnya. Permintaan tersebut disertai jaminan: Singa akan menerima gaji tetap dan makanan yang cukup banyak setiap hari, tanpa harus bekerja keras. Perdebatan sengit terjadi. Singa mempertahankan keunggulan metode rasional, kepercayaan pada ikhtiar dan kemauan bebas (free will); sedangkan serigala, kelinci dan kawan-kawannya mengunggulkan iman dan kepercayaan penuh atas takdir. Singa menolak tawaran binatang lain karena merasa bahwa bekerja keras menggunakan akal pikiran lebih baik daripada semata-mata bergantung pada iman dan takdir. Menurut Singa:
Ikhtiar (kehendak bebas) adalah perbuatan
terpuji dalam mensyukuri nikmat-Nya;
Pasrah menerima ketentuan takdir dan nasib
adalah pengingkaran terhadap nikmat karunia-Nya.
Bersyukur disebabkan sanggup bertindak bebas
Menambah kemampuan dan kekuatan;
Berbuat berdasar ketentuan takdir
Sama dengan mencuri karunia-Nya dari tangan orang lain.
Pasrah dan berbuat karena percaya pada ketentuan takdir
Sama dengan tidur nyenyak di pinggir jalan;
Jangan tidur, jangan tidur! Sampai kau dapat melihat
Gapura istana-Nya di hadapan pintumu sendiri.
Sebaliknya serigala, kelinci, rubah kijang dan lain-lain membujuk Singa mempercayai bahwa bekerja keras tidak ada gunanya dan hasil dari ikhtiar menggunakan akal pikiran adalah khayalan kosong. Singa berhasil membuktikan keunggulan ikhtiar akal pikiran dan kemauan bebas sehingga pada akhirnya kelinci dan kawan-kawan menyerah dan menerima pendapat Singa. Ketika itulah singa lengah: sebagai imbalan bagi penerimaan terhadap pendapat tersebut, Singa diminta tidak perlu berkeliaran di lembah mencari makanan. Makanan dan gaji yang tetap akan diterima oleh Singa tanpa harus bekerja keras. Demikianlah setiap hari kelinci, serigala, rubah, kijang dan binatang lain harus bekerja keras untuk memberi makan dan menggaji Singa.
Setelah cukup lama dilakukan pada akhirnya kelinci merasa letih dan bosan. Kelinci berkata bahwa ia ingin beristirahat beberapa waktu, menyingkir dari keramaian (zuhud), memperbanyak ibadah, sehingga tiba waktunya kelak dia menerima ilham dan petunjuk dari Tuhan. Kata kelinci:
Kawan-kawan, ingatlah Tuhan memberi ilham
Kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya;
Kepada si lemah Dia akan memberikan
Pendirian yang teguh berupa iman.
Kepandaian yang diajarkan Tuhan kepada lebah
Tidak diajarkan kepada singa dan kuda liar.
Lebah membangun rumah dari sari bunga
Kepadanya pintu pengetahuan dibukakan oleh Tuhan.
Apakah ketrampilan yang diberikan pada cacing tanah
Dimiliki oleh seekor gajah yang terlatih?
Selanjutnya dikatakan bahwa walau pun Adam dicipta dari tanah liat, namun karena memperoleh pengetahuan langsung dari Tuhan (ilham) maka martabatnya menjadi lebih tinggi dari malaikat yang dicipta dari cahaya. Iblis, yang bertapa seribu tahun dan menguasai dunia supernatural, juga lebih rendah dari Adam karena karena tidak mau meminum susu pengetahuan agama. Mereka yang bersandar pada hasil pengamatan empiris dan formal tidak memperoleh susu lezat dari ilmu hakekat. Mutiara tak ternilai tidak dijatuhkan ke dalam lubuk lautan dan langit, melainkan ke dalam kalbu manusia yang tercerahkan.
Berapa lama usia bentuk dan tubuh
Dalam putaran waktu yang cepat ini?
O pemuja bentuk, apakah jiwamu yang separuh nyata
Tidak dapat membebaskan diri dari penjara bentuk?
Jika seorang anak manusia adalah manusia
Disebabkan wujud lahirnya semata-mata
Maka Abu Jahal dan Nabi akan sama saja;
Lukisan di dinding itu memang seperti Adam
Namun lihat juga gagasan tersembunyi di baliknya!
Di dalam bentuk lahir yang amat bagus itu
Bersemayam roh, mutiara yang gemerlapan itu!
Tertarik oleh perkataan Kelinci, binatang lain bertanya, apa makna yang terkandung dalam pernyataannya itu? Tetapi Kelinci tetap menyembunyikan niatnya, sebab hanya dia sendiri yang dapat melaksanakannya. Akhirnya tiba waktunya, kelinci telah menyusun siasat yang jitu untuk mengalahkan Singa. Dia menemui Singa dan berkata bahwa tidak jauh dari hutan itu ada singa lain yang luar biasa kuat dan mengancam kedudukan Singa sebagai presiden sekalian binatang. Singa termakan oleh perkataan kelinci. Dia marah dan minta kelinci menunjukkan tempat singa lain yang menjadi pesaing dan pecundangnya itu. Kelinci mengantarkan Singa ke sebuah perigi yang dalam dan jernih airnya, seraya mengatakan bahwa musuhnya ada di dalam sumur. Singa melihat ke dalam air sumur dan melihat wajah seekor singa yang tak lain adalah bayang-bayangnya sendiri, namun Singa mengira itulah musuh yang dicarinya. Serta merta Singa terjun ke dalam sumur untuk menerkam musuhnya dan jatuh dalam air.
Singa jatuh ke dalam perigi yang digali sendiri
Disebabkan oleh kesalahannya sendiri
Dia terpaksa memukul kepalanya sendiri
Karena dorongan hawa nafsunya.
Banyak orang arif mengatakan:
Kesalahan yang timbul disebabkan niat jahat
Dapat berubah menjadi perigi dalam yang gelap.
Kian banyak tipu muslihat dan kesalahan dibuat
Kian dalam dan kelam perigi digali oleh seseorang
…
Singa itu kini melihat dirinya dalam perigi
Karena marah ia tak bisa membedakan
Mana dirinya dan mana musuhnya.
Dia menganggap bayangannya sendiri
Sebagai musuh yang sedang dicarinya
Lantas dia mengangkat pedang
Dan menghunuskan pedang itu ke arah dirinya.
O betapa banyak kejahatan kaulihat pada orang lain
Sebenarnya merupakan kejahatanmu sendiri
Namun tersembunyi dari pandangan matamu
Kau bisa melihat kejahatanmu sendiri
Hanya setelah melihat kejahatan orang lain.”
Dari kisah di atas dapat diambil kesimpulan: Dalam pengertian Sufi di satu pihak, cinta adalah metode pengetahuan yang diperoleh melalui intuisi atau makrifat; dan di lain pihak ada bentuk cinta yang rendah, yaitu cinta yang dikuasai hawa nafsu dan kepentingan diri, seperti Singa yang disebabkan mapan dengan status quo-nya tidak mau disaingi singa yang lainnya dan memandang setiap pesaingnya itu sebagai musuhnya. Akal pikiran dan pengetahuannya digunakan untuk memupuk dendam dan kebencian, serta melaksanakan niat buruknya. Cinta semacam itu bukanlah cinta sejati, sebagaimana dikatakan Imam al-Ghazali. Cinta sejati ialah cinta yang timbul karena sesuatu yang dicintai memang patut dicintai disebabkan daya tarik dari dalam diri sesuatu itu, yaitu keindahan dan kebaikannya.
Cinta adalah kecenderungan kuat akan sesuatu, dan karena kuatnya kecenderungan terhadap sesuatu, ia tidak memberi tempat kepada sesuatu yang lain. Teori Sufi tentang Cinta secara historis bermula pada masa Rabi`ah al-Adawiyah abad ke-2 H/ ke-8 M. Istilah yang digunakan ialah mahabbah. Menurut al-Hujwiri (abad ke-10 M) dalam kitab Kasyf al-Mahjub perkataan mahabbah dikembangkan dari akar kata hubb dan hibb. Hubb ialah kendi berisi air penuh, sehingga tak memberi lagi tempat pada air yang lainnya. Hibb ialah bibit tanaman yang unggul, yang walaupun ditanam di tanah yang kering kerontang akan tumbuh dengan uletnya. Seperti kendi penuh air dan bibit tanaman unggul itulah kira-kira pengertian cinta yang sejati.
Walaupun sebagai gagasan kerohanian nampak bersahaja, namun cinta memiliki makna yang luas dan kompleks. Ia merupakan gabungan dari bermacam perasaan dan menimbulkan berbagai keadaan jiwa. Inilah yang membuat para sastrawan, khususnya penulis sufi, terdorong menciptakan banyak kisah perumpamaan sebagaimana telah dicontohkan. Dalam Hikmat al-Awlya’ Abu Nu`aym al-Isfahani (abad ke-12) mengatakan lebih kurang, “Hati seorang `arif ialah sarang cinta, dan hati seorang pencinta berahi adalah sarang kerinduan (syawq), dan hati seorang yang rindu ialah sarang kedekatan (uns, yi. kedekatan dengan kekasih).”
Rabi`ah mengatakan bahwa cinta merupakan landasan ketaatan dan ketakwaan kepada Tuhan. Ini dinyatakan dalam sebuah sajaknya yang dijadikan rujukan utama para Sufi yang kemudian. Tutur Rabi`ah:
Kucintai Kau dengan dua cinta:
Cinta untuk kepentingan diriku
Dan cinta sebab Kau patut dicintai.
Dalam mengingat-Mu kubuang yang lain.
Cinta sebab Kau patut dicinta
Karena Kaucampakkan hijab dan tabir
Hingga aku dapat memandang-Mu
Segala pujian untukku tak kuperlukan
Semua pujian hanya untuk-Mu semata.
Imam al-Ghazali memberi komentar terhadap pernyataan Rabi`ah itu, “Mungkin yang dimaksud dia dengan cinta untuk diriku ialah cinta kepada Allah karena kebaikan serta kurnia yang dilimpahkan oleh-Nya…sedang cinta kepada Allah sebab Dia patut dicinta ialah cinta disebabkan keindahan (jamal) dan keagungan-Nya menyingkapkan diri kepada mata batinnya. Dan cinta kedua inilah yang merupakan cinta paling luhur dan dalam, serta merupakan suatu kelezatan (iltizat) dalam menyaksikan keindahan Tuhan.” (Tasawuf Yang Tertindas, 2001:42).
Mungkin penjelasan yang lebih rinci tampak pada pernyataan Harits al-Muhasibi (w. 857 M): ”Apabila cinta telah teguh dalam hati seorang hamba, maka tak ada tempat untuk mengingat orang atau iblis atau sorga atau neraka, tidak pula ingat sesuatu apa kecuali Kekasih dan Kemurahan-Nya. Cinta ilahi secara hakiki merupakan pencerahan kalbu sebab merasa senang memperoleh kedekatan dengan Kekasih disebabkan cinta, dalam keheningan, menerbitkan kemenangan dan hati pencinta dikuasai oleh perasaan karib dengan-Nya, dan apabila keheningan berpadu dengan terwujudnya hubungan rahasia dengan Kekasih, kesenangan dan hubungan rahasia itu akan mengalahkan pikiran sehingga ia tidak lagi menyibukkan diri dengan ini dan itu yang tidak bermanfaat.” (Smith 1972, 19).
Dalam menguraikan cinta sebagai kecenderungan atau gejala jiwa yang penting dan dominan dalam diri manusia, beberapa Sufi menggubah kisah-kisah percintaan biasa sebagai perumpamaan, khususnya keadaan-keadaan jiwa yang dialami seorang pencinta dan pengaruh keadaan-keadaan tersebut terhadap tindakan dan perbuatan seseorang. Dalam Gita Suluk Latri (awal abad ke-16 M) Sunan Bonang sebagai contoh menggambarkan betapa keadaan jiwa seorang pencinta yang sedang menunggu kekasihnya. Semakin malam hatinya semakin rindu dan berlimpah khayalan, serta bertambah-tambah pula berahinya. Namun kekasihnya belum menampakkan tanda-tanda akan datang. Ketika kekasihnya datang, ia hanyut dalam percintaan sehingga lupa segala-galanya selain si dia. Jiwa sepenuhnya diserahkan kepada kekasihnya. Ia hanyut dibawa ombak keasyikan menuju lautan wujud tak terhingga.
Dalam Suluk Jebeng Sunan Bonang melukiskan pencapaian tinggi seorang pencinta di jalan cinta:
Akhir ilmu sempurna
Bagai api berkobar
Hanya bara dan nyala kelihatan
Hanya kilatan cahaya
Terhalang asap
Sering pula cinta merupakan keadaan yang diperoleh tanpa diharapkan. Fariduddin al- `Attar misalnya menggambarkan dalam kisah “Percintaan Putri Raja dengan Hamba Sahayanya” (dalam Mantiq al-Tayr): Seorang putri raja yang cantik jelita jatuh hati kepada seorang hamba sahaya yang pernah dilihatnya ketika sedang berjalan-jalan di luar istana. Agar tidak diketahui banyak orang, putri raja menyuruh dayang-dayangnya merayu hamba sahaya tersebut. Pada suatu malam hamba sahaya itu berhasil diberi minuman yang memabukkan hingga tak sadarkan diri. Lalu secara diam-diam hamba itu dibawa oleh dayang-dayang ke tempat sang putri. Dalam keadaan tak sadar hamba tersebut dihidangi makanan dan minuman lezat, lagu-lagu dan tarian wanita yang cantik bagaikan di sorga. Pada saat itulah sang putri mencumbu hamba sahaya tersebut, sehingga keduanya sampai ke puncak berahinya. Keesokan harinya hamba sahaya itu menceritakan pengalaman yang musykil itu kepada teman-temannya. Ia menyatakan sudah lupa di mana tempatnya, bagaimana keadaan yang dialaminya, sebab semuanya berlangsung antara sadar dan tak sadar.
Dalam kisah itu `Attar ingin mengisahkan bahwa cinta sebagai pengalaman kejiwaan dan kerohanian bersifat pribadi dan sukar diceritakan. Dia membawa manusia berjalan antara keadaan sadar dan tak sadar. Seperti orang yang sedang memikirkan atau membayangkan sesuatu atau seseorang. Andaikan sesuatu atau seseorang itu ada di dunia nyata, tetap apa yang dipikirkannya itu setengahnya merupakan realitas dan setengahnya lagi imaginasi, buah pikiran dan angan-angannya sendiri.
Adapun kisah yang dipaparkan `Attar itu diambil dari kenyataan, yaitu praktek kaum Assasin (sempalan gerakan Ismailiyah atau Syiah Imam Tujuh) pimpinan Hasan al-Sabah. Dalam mencari pengikut yang fanatik, kaum Assasin menggunakan praktek-praktek seperti dalam kisah `Attar itu, yaitu penggunaan obat bius dan ritual membaiat calon pengikut dengan tari-tarian eksotik dan erotik. Dengan demikian seorang pengikut sekte itu seakan-akan berada di sorga. Seperti pengikut kaum Assasin itulah sebenarnya keadaan jiwa yang dialami seorang pencinta yang berahi: berjalan antara alam sadar dan alam tak sadar, antara realitas dan imaginasi.
Hamzah Fansuri, penyair Sufi terbesar di kepulauan Melayu Nusantara, mengekspressikan gagasan cinta ilahi dan keindahan Tuhan yang menimbulkan rasa cinta, dengan menggunakan citraan ide (idea image) anthromorfis, tetapi dia bukan penganut faham anthromorfisme dalam teologi sebagaimana sering dituduhkan. Dalam syairnya di bawah ini dia melukiskan penampakan Cinta Ilahi melalui citraan ide yang membayangkan keindahan aneka ragam di alam ciptaan. Ini sebagai bukti bahwa cinta Tuhan kepada segala sesuatu tak tertandingi. Melalui keindahan barang ciptaan-Nya yang berbagai-bagai itu Dia menyembunyikan kehadiran-Nya. Orang yang penglihatan hatinya terang tahu, bahwa walaupun Dia tak tampak, namun kehadiran-Nya dirasakan di mana-mana. Seperti dikemukakan dalam al-Qur`an (2:115): ”Ayna-ma tuwallu fa-tsamma wajh Allah” (Kemana pun kau memandang akan tampak wajah Allah). Namun penglihatan orang menjadi kabur, disebabkan ingkar terhadap Yang Gaib atau cintanya yang berlebihan pada dunia, sehingga di luar itu dianggapnya tak ada dunia yang tak kalah baik. Tutur Hamzah Fansuri:
Subhana Allah terlalu kamil
Menjadikan insan `alim dan jahil
Dengan hamba-Nya da’im Ia washil
Itubah mahbub (Kekasih) bernama adil
Mahbubmu itu tiada berlawan
Lagi `alim lagi bangsawan
Kasihnya banyak lagi gunawan
Olehnya itu beta tertawan
Bersunting bunga lagi bermalai
Kainnya warna berbagai-bagai
Tahu ber(sem)bunyi di dalam sakai (hamba)
Olehnya itu orang terlalai
Ingat-ingat kau lalu lalang
Berlekas-lekas jangan kau mamang
Suluh Muhammad yogya kau pasang
Supaya salim jalanmu datang
Rumahnya `ali berpatam birai
Lakunya bijak sempurna bisai
Tudungnya halus terlalu pingai
Da’im ber(sem)bunyi di balik tirai
Jika sungguh kau `asyiq dan mabuk
Memakai khandi pergi menjaluk
Ke dalam pagar yogya kau masuk
Berang ghayr (yang selain) Allah sekalian kau amuk
Berjalan engkau rajin-rajin
Mencari guru tahu kan batin
Yogya kau tuntut jalan yang amin
Supaya dapat lekas kau kawin
Berahimu da’im akan orang kaya
Manakan dapat tiada berbahaya
`Ajib sekali akan hati sahaya
Hendak berdekap dengan Mulia Raya
Tiada kau tahu akan karmamu
Terlalu ghurur (berkhayal) dengan hartamu
Nafsu dan setan da’im sertamu
`Asyiq dan mabuk bukan kerjamu
…
Hamzah miskin (faqr) hina dan karam
Bermain mata dengan Rabb al-`Alam
Selamnya sangat terlalu dalam
Seperti mayat sudah tertanam
(Ikat-ikatan II naskah Jakarta ML. 83)
Dalam syair-syairnya Hamzah Fansuri, sebagaimana Fakhrudin Iraqi penulis Sufi Persia abad ke-14, menyatakan bahwa Cinta Ilahi merupakan Wujud dan Wajah Tuhan yang hanya nampak kepada penglihatan batin seorang hamba. Ia tidak mengambil rupa jasmani, tetapi dalam rupa sifat-sifat-Nya Yang Maha Pengasih (al-rahman) dan Maha Penyayang (al-rahim). Rupa cinta semacam itu dinyatakan dalam kalimat Basmalah. Cinta Tuhan yang rahman dan rahim itulah yang menggerakkan kehidupan alam semesta. Rahman adalah Cinta yang esensial (dzatiyah) dan meliputi (muhit) segala sesuatu, artinya dilimpahkan kepada segala makhluq dan seluruh umat manusia. Rahim adalah cinta yang wajib, artinya wajib diberikan kepada orang-orang terpilih yang dicintai atau disayangi. Tutur Hamzah Fansuri:
Rahman itulah yang bernama Wujud
Keadaan Tuhan yang sedia ma`bud
Kenyataan Islam Nasrani dan Yahud
Dari rahman itulah sekalian mawujud
(Ikat-ikatan II Naskah Leiden Cod. Or. 2016).
Cinta yang didamba Sufi bukan hanya al-rahman, yang diperuntukkan kepada siapa saja, tetapi terutama al-rahim yang lebih khusus dan spesifik, seperti cinta seorang ibu kepada anaknya, sebab dari rahim ibulah anak tersebut dilahirkan.
Pada akhirnya saya ingin menutup pembicaraan ini dengan mengemukakan Gita Suluk Latri yang ditulis oleh Sufi dari Jawa abad ke-16, Sunan Bonang alias Makhdum Ibrahim. Suluk yang ditulis dalam pupuh wirangrong itu menggambarkan seorang `asyiq (pencinta) yang gelisah menunggu kedatangan kekasihnya. Semakin malam si pencinta semakin berahi, sedang kekasihnya belum juga datang. Tatkala kekasihnya datang, maka ia pun lupa segala-galanya selain Dia dan kemudian sepenuhnya menyerahkan diri ke dalam dekapan kekasihnya. Selama pertemuan berlangsung pencinta hanyut (kahanyutan) dibawa ombak menuju lautan (wujud) yang tak terhingga. Sunan Bonang mengumpamakan kedekatan manusia dengan Tuhan seperti kedekatan gema dengan suara dari mana gema itu berasal. Manusia, yang merupakan gambaran-Nya, adalah gema yang bergaung di alam penciptaan dan asalnya adalah suara atau perintah “Kun fayakun” Tuhan.
Baiklah saya akhiri tulisan ini dengan mengutip beberapa ruba’i (kwatrin) Iqbal, yang mengungkapnya luasnya aspek dan dimensi cinta:
Musik cinta menemukan intrumennya pada manusia
Rahasia ia singgap, satu semata dirinya
Tuhan mencipta dunia, manusia menjadikannya indah
Manusia adalah kerabat kerja dan sahabat Tuhan
Awal dan akhir dunia ini – bukan ini
Yang kucari, namun rahasia-rahasianya
Sebab aku adalah diriku, jika kebenaran tersingkap
Aku akan kehilangan rasa tak pasti
Apa gunanya kalbu dalam dada, tanyamu
Akal yang dianugerahi rasa oleh Tuhan
Jika rasa hidup maka kalbumu hidup pula
Jika tidak, ia berubah menjadi debu
Akal berkata dengan congkak, Dia tak tampak
Namun mata yang khusyuk tetap terjerat
Antara harap dan cemas. Gunung Sinai masih tegak
Dan dalam diri manusia selalu ada Musa
Cuma gereja, masjid, kuil, rumah berhala
Kau bangun – lambang-lambang penghambaanmu
Tak pernah dalam hati kau bangun dirimu
Hingga kau tak bisa menjadi utusan merdeka
(”Tulip dari Sinai” dalam Payam-i Mashriq, bagian awal)
Inti permasalahan yang ingin diungkapkan dalam pembicaraan ini tercakup dalam sajak Iqbal tersebut. Cinta dan pencarian diri merupakan dua hal penting dalam membangun kehidupan beragama dan peradaban, namun sering kita abaikan. Diri yang dimaksud di sini ialah seluruh potensi kerohanian kita sebagai manusia, yang bila diberdayakan benar-benar akan memungkinkan kita menjadi khalifah Tuhan di atas bumi dan hamba-Nya dalam arti sebenarnya. Potensi kerohanian itu diringkas oleh Iqbal sebagai akal pikiran dan kalbu; pengetahuan dan cinta; ilmu dan iman.
Jakarta 14 Agustus 2001
Rujukan
Abdul Hadi W. M. Kembali ke Akar, Kembali ke Sumber. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999.
———————- Tasawuf Yang Tertindas: Kajian Hermeneutik Terhadap Karya-karya Hamzah Fansuri. Jakarta: Paramadina, 2001.
V. I. Braginsky. Yang Indah, Yang Berfaedah dan Kamal: Sejarah Sastra Melayu Dalam Abad ke-7-19 M. Jakarta: INIS, 1996.
—————— ”Perpaduan Etika dan Estetika Sastra Dalam Hikayat Melayu Zaman Islam (Hikayat Maharaja Ali)” Kertas kerja Seminar Teori Sastra Islam: Kaedah dan Penerapannya. Putrajaya Selangor, Malaysia, 26-28 September 2000.
E. G. A. Browne. A Literary History of Persia. Vol. II. Cambridge: Cambridge University Press, 1928-30.
Muhammad Iqbal. Pesan Dari Timur. Terjemahan Payam-i Mashriq oleh M. Hadi Husain. Lahore: Iqbal Academy, 1977.
S. H. Nadeem. A Critical Apreciation of Arabic Mystical Poetry. Lahore: Islamic Book Service, 1979.
R. A. Nicholson. The Mathnawi of Jalalu’ ddin Rumi. 6 vols. London: Luzac & Co. Ltd., 1977.
Osman Haji Khalid. Kesusasteraan Arab Zaman Abasiah. Andalus dan Zaman Modern. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1997.
Annemarie Schimmel. Mystical Dimensions of Islam Chapel Hill: The University of North Caroline Press, 1981.
Margareth Smith. Reading from the Mystics of Islam. London: Luzac & Co. Ltd., 1972.
________________________________________
* Makalah ini disampaikan dalam Kuliah Kajian Agama (KKA) Yayasan Paramadina di Hotel Regency Jakarta, 24 Agustus 2001, bersama-sama Prof. Dr. Nurcholis Madjid.
Post a Comment Disqus Facebook