Mari Kemari, Datang… Datanglah Mari Kemari Datanglah
Siapa pun Dirimu. Pengelana, Peragu, dan Pecinta
Mari… Kemari Datanglah Tak Penting Kau Percaya atau Tidak…
Mari Kemari… Datanglah Kami Bukanlah Caravan
Yang Patah Hati... Atau Pintu-Pintu dari Keputus Asa - an,
Mari Kemari, Datanglah... Meski Kau Telah Jatuh Ribuan Kali, meski Kau telah Patahkan Ribuan Janji,
Mari Kemari… Datang... Datanglah Sekali Lagi…
(Mawlana Jalaluddin Rumi)
Siapa pun Dirimu. Pengelana, Peragu, dan Pecinta
Mari… Kemari Datanglah Tak Penting Kau Percaya atau Tidak…
Mari Kemari… Datanglah Kami Bukanlah Caravan
Yang Patah Hati... Atau Pintu-Pintu dari Keputus Asa - an,
Mari Kemari, Datanglah... Meski Kau Telah Jatuh Ribuan Kali, meski Kau telah Patahkan Ribuan Janji,
Mari Kemari… Datang... Datanglah Sekali Lagi…
(Mawlana Jalaluddin Rumi)
Selamat Datang!
Para Pecinta Mawlana Jalaluddin Rumi
Kehidupan Mawlana Jalaludin Rumi, seorang sufi abad XIII yang di Barat dikenal sebagai ‘Rumi’, terdokumentasi dengan baik. Penulis biografinya yang pertama, yaitu Sultan Walad yang merupakan putra Mawlana Jalaludin Rumi, selanjutnya pada abad XIV Syamsuddin Aflaki menulis hagiografinya.
Rumi adalah pijar cahaya, yang nyalanya menyebar lewat kata-kata bijak yang ia wariskan. Lebih dari teks-teks lain mana pun, warisannya itu berupa kumpulan puisi monumental.
Jalaludin (secara harfiah berarti, ‘Keagungan Agama’) tidak pernah pulih dari pengaruh pertemuannya dengan Syams (‘matahari’) dari Tabriz. Dalam usahanya untuk mengungkapkan wawasan spiritualnya dia menyalurkannya lewat beribu-ribu syair, yang disenandungkan secara spontan yang kemudian dicatat oleh para santrinya. Walau karyanya yang belakangan, Matsnawi, dihubungkan dengan al-Qur’an nerkenaan dengan arti spiritualnya, dia tidak terlalu menyukai kata-katanya sendiri; syair itu diucapkannya semata-mata karena orang menuntut adanya kata-kata yang terlontar dari dirinya maka dia pun menguraikan seluruh wawasan spiritualnya lewat syair-syair itu. Kata-kata yang indah dan bijaksana, bisa menunjuk kepada Allah, tapi tak satu kata pun yang bisa membawamu kepadaNya. Kita harus melanjutkan akhir perjalanan itu dalam diam, karena jalan sufi adalah jalan cinta, dan cinta yang sebenarnya senantiasa mengatup mulut.
Para Pecinta Mawlana Jalaluddin Rumi
Kehidupan Mawlana Jalaludin Rumi, seorang sufi abad XIII yang di Barat dikenal sebagai ‘Rumi’, terdokumentasi dengan baik. Penulis biografinya yang pertama, yaitu Sultan Walad yang merupakan putra Mawlana Jalaludin Rumi, selanjutnya pada abad XIV Syamsuddin Aflaki menulis hagiografinya.
Rumi adalah pijar cahaya, yang nyalanya menyebar lewat kata-kata bijak yang ia wariskan. Lebih dari teks-teks lain mana pun, warisannya itu berupa kumpulan puisi monumental.
Jalaludin (secara harfiah berarti, ‘Keagungan Agama’) tidak pernah pulih dari pengaruh pertemuannya dengan Syams (‘matahari’) dari Tabriz. Dalam usahanya untuk mengungkapkan wawasan spiritualnya dia menyalurkannya lewat beribu-ribu syair, yang disenandungkan secara spontan yang kemudian dicatat oleh para santrinya. Walau karyanya yang belakangan, Matsnawi, dihubungkan dengan al-Qur’an nerkenaan dengan arti spiritualnya, dia tidak terlalu menyukai kata-katanya sendiri; syair itu diucapkannya semata-mata karena orang menuntut adanya kata-kata yang terlontar dari dirinya maka dia pun menguraikan seluruh wawasan spiritualnya lewat syair-syair itu. Kata-kata yang indah dan bijaksana, bisa menunjuk kepada Allah, tapi tak satu kata pun yang bisa membawamu kepadaNya. Kita harus melanjutkan akhir perjalanan itu dalam diam, karena jalan sufi adalah jalan cinta, dan cinta yang sebenarnya senantiasa mengatup mulut.
Makam Mawlana Jalaluddin Rumi
TULISAN DI BATU NISAN JALALUDDIN AR-RUMI
Ketika kita mati, jangan cari pusara kita di bumi, tetapi carilah di hati manusia.
Ketika kita mati, jangan cari pusara kita di bumi, tetapi carilah di hati manusia.
Post a Comment Disqus Facebook