Semua bentuk yang engkau lihat,
memiliki “mata-air-tetap” di alam tak-bertempat:
Tidak mengapa ketika bentuk musnah,
karena aslinya abadi.
Semua wajah cantik yang pernah kau lihat,
semua kata penuh-makna yang pernah kau dengar;
Janganlah berduka ketika semua itu hilang;
karena sesungguhnya tidaklah demikian.
Ketika mata-air-sumber tak-berhenti,
cabangnya terus mengalirkan air.
Karena itu, apa yang engkau keluhkan?
Pandanglah jiwa sebagai pancuran,
dan semua ciptaan ini sebagai sungai:
ketika pancuran mengucur,
sungai mengalir dari situ. [1]
Taruhlah kesedihanmu
dan teruslah minum air-sungai ini;
jangan fikirkan kapan surutnya;
aliran ini tiada henti.
Dari saat pertama engkau masuki alam wujud ini,
sebuah tangga ditaruh di hadapanmu,
sehingga engkau dapat menapak naik.
Pertama engkau adalah mineral,
lalu engkau berubah menjadi tetumbuhan,
kemudian engkau menjadi hewan:
bagaimanakah sampai hal ini
sempat menjadi rahasia bagimu?
Kemudian engkau menjadi insan,
dengan pengetahuan, ‘aql dan keyakinan.
Pandanglah raga ini,
yang tersusun dari tanah-liat kering:
pandanglah bagaimana dia telah tumbuh
dengan sempurna.
Ketika engkau berjalan terus dari insan;
tiada diragukan lagi engkau akan menjadi malak.
Ketika engkau telah meninggalkan bumi ini,
kedudukanmu di langit.
Lewatilah ke-malak-anmu:
masukilah samudra itu.
Sehingga tetesanmu menjadi lautan
yang tak-terhingga luasnya.
Tinggalkanlah kata “putra,”
katakanlah “yang Maha Esa”
dengan seluruh jiwamu.
Tidak jadi soal jika raga menjadi tua,
lemah dan lusuh;
ketika jiwa senantiasa muda.
Catatan:
[1] "Apa-apa saja berupa hasanah yang engkau peroleh maka itu dari Allah (faminallah), dan apa-apa saja berupa sayyiah yang engkau peroleh maka itu dari dirimu sendiri (famin nafsika)..." (QS [4]: 79).
Sumber:
Rumi: Divan Syamsi Tabriz no 12, Terjemahan ke Bahasa Inggris oleh Nicholson.
ngrumi.blogspot.com
Post a Comment Disqus Facebook