Diam atau hening dalam ranah sufistik termasuk pembahasan yang sangat penting dan juga tentu menarik. Apalagi pembahasan ini hampir hadir dalam seluruh agama dan juga aliran spiritual lainnya. Salah satu ungkapan yang sangat terkenal dalam pemikiran tasawuf, “siapa yang mengenal Tuhan-Nya, lidahnya akan menjadi bisu”.
Maulana Rumi salah satu sufi yang memberikan ruang khusus dalam menjelaskan persoalan hening dan diam. Namun kira-kira mengapa kaum sufi begitu menaruh perhatian tentang diam dan hening? Berikut ini diantara beberapa faktor yang menjelaskan posisi diam dalam persoalan tasawuf dan juga menjelaskan beberapa kareksteristik diam:
1. Rahasia Ilahi tidak sepantasnya diungkapkan di majelis-majelis yang sebagian besar dihadiri oleh orang-orang awam.
2. Diam atau hening salah satu dari adab suluk sebab diam akan mensucikan batin manusia. Syekh Sahal Tustari (salah satu sufi besar) mengatakan, “hening tak akan dicapai dengan sempurna kecuali dengan khalwat, dan taubat tidak akan benar kecuali dengan hening”.
3. Maulana Rumi dalam Matsnawi mengatakan:
Jika engkau tak ingin dihasut syaitan,
Hilangkan ego dan keakuan dan berlindunglah pada kejujuran,
Jika kau tak punya kejujuran, paling tidak, diamlah. Karena perkataan menegaskan ‘kita’ dan ‘saya’.
Hilangkan ego dan keakuan dan berlindunglah pada kejujuran,
Jika kau tak punya kejujuran, paling tidak, diamlah. Karena perkataan menegaskan ‘kita’ dan ‘saya’.
Perkataan yang menetap di hati akan menguatkan nalar,
Efek dari diam, nalar jiwa akan menemukan segala yang dicari. Namun saat kau berkata, nalarmu yang sangat aktif, Kurangilah nalarmu agar kau tetap baik,
Seseorang yang kurang bicaranya, pikirannya tinggi, Namun saat bicara yang banyak, nalar pun sirna.
Efek dari diam, nalar jiwa akan menemukan segala yang dicari. Namun saat kau berkata, nalarmu yang sangat aktif, Kurangilah nalarmu agar kau tetap baik,
Seseorang yang kurang bicaranya, pikirannya tinggi, Namun saat bicara yang banyak, nalar pun sirna.
4. Bagi Rumi tanpa bahasa adalah suatu bentuk dari bahasa itu sendiri. Maksudnya terkadang dalam memahami sesuatu yang tak terpahami bisa melalui keheningan dengan bertanya ke dalam diri kita.
5. Diam pada hakikatnya dipahami sebagai suatu pengalaman. Khususnya makrifat terkait dengan Tuhan pada tahapan tertentu tak lagi mampu terwakili oleh kata-kata. Disini manusia membutuhkan suatu bentuk keheningan agar manusia dapat memahaminya melalui pengalaman ke dalam diri yang paling batin.
6. Kata Rumi dalam Matsnawi:
6. Kata Rumi dalam Matsnawi:
Seorang arif mulutnya tertutup, namun hatinya penuh rahasia, Mulutnya tak bergerak, namun ada lantunan melodi di dalam hatinya, Para arif yang telah meraih medali Ilahi, meski rahasia bersama dirinya, Namun mereka menyembunyikannya.
Ia mengajarkan rahasia perbuatan kepada siapa saja yang lidahnya diam, dan mulutnya tertutup.
7. Pada prinsipnya, alam makna adalah alam keheningan (tanpa bentuk dan tanpa materi) yang justru bertindak sebagai penggerak alam materi. Oleh sebab itu tak heran jika para sufi mengarahkan seluruh eksistensinya menuju alam keheningan.
8. Keheningan akan membuahkan kemurnian dan dari kemurnian akan membuahkan bahasa yang paling indah sebagaimana yang dihasilkan oleh kaum sufi dalam membahasakan pengalamannya.
9. Kata Maulana Rumi:
Makanan Nafsul Muthmainnah adalah diam, Makanan Nafsun Nathiqah adalah perkataan.
10. Diam termasuk salah satu faktor yang mampu memisahkan antara hak dan batil. Tanpa simbol dan kesirnaan mutlak dapat ditemukan dalam keheningan. Saat manusia diam, rahasia-rahasia akan mendekat kepadanya dan hatinya terbuka dalam mendengarkan rahasia-rahasia.
11. Esensi diam sangat terkait dengan esensi cinta. Mereka yang memahami makna diam akan memahami pula makna cinta sebab ada kaitan erat antara cinta dengan diam dalam tradisi sufi.
via Muhammad Nur Jabir
Post a Comment Disqus Facebook