"Siapa pun bisa mengira bahwa ia telah menyertaiku dan sebatin denganku, namun tak ada yang bisa memahami rahasia batinku".
(Matsnawi Maknawi, buku 1, bait 6)
Bait diatas menceritakan tentang kisah Nei atau seruling. Sebelumnya telah kami jelaskan bahwa, ketika pemusik meniup seruling, akan menghasilkan satu nada yang indah. Nah, setiap orang yang mendengar akan menduga beginilah asyiknya musik itu. Tetapi boleh jadi bukan itu yang dimaksud oleh si pemusik; ada yang lebih dalam dari yang diduga oleh orang-orang itu.
Setiap orang akan menangkap realitas sesuai dengan batasan eksistensi dirinya. Jadi, seluas apa eksistensi dirinya, seluas itulah dia menangkap realitas. Dia tidak bisa menangkap seluruh realitas. Semakin sempurna eksistensi dirinya, semakin sempurna ia menangkap realitas dirinya.
Karena itu, kebanyakan orang menduga-duga, sebagaimana mereka menduga-duga rasa yang dihasilkan oleh Nei, padahal ada rasa yang lebih dalam yang ingin disampaikan oleh si pemusik.
"Padahal rahasia-rahasia batinku tersembunyi di setiap jeritanku dan tak pernah terpisah darinya. Jeritan ini sampai ke setiap telinga, namun bukan mata dan telinga itu yang mampu melihat dan mendengarkannya".
(Matsnawi Maknawi, buku 1, bait 7)
Seolah-olah ada orang yang bertanya pada Rumi: "kalau begitu, bagaimana saya bisa memahami rahasiamu". Kemudian Rumi menjawab: "sebenarnya deritaku ini tak jauh dari bahasaku". Jadi kalau engkau ingin merasakan deritaku, lihatlah bahasaku. Atau, kalau engkau ingin melihat bagaimana diriku, lihatlah bahasaku. Sebagaimana dijelaskan dalam hadits bahasa adalah simbol kepribadian seseorang. Jadi kalau mau lihat seseorang, lihatlah bahasanya.
Mata dan telinga tak mampu menangkap cahaya itu. Karena mata dan telinga adalah aspek lahiriah. Maksudnya, seseorang harus keluar dari kerangka lahiriah untuk bisa masuk ke dalam rahasia batin. Maka itu, takwilnya, tidak usah jauh-jauh kalau mau lihat jeritanku, lihat saja pada bahasaku, bahasa yang saya gunakan. Di situlah ada rahasia deritaku.
Karena Matsnawi ini adalah sebuah sastra sufi, maka kita harus masuk pada pondasi sufistik untuk masuk ke dalam rahasia Rumi. Matsnawi ini membutuhkan penjelasan sufistik, sebab itu harus ada pondasi sufistik agar bisa menangkap rahasia yang diungkapkan oleh Rumi. Karenanya, “bukan mata dan telinga itu yang mampu menangkap rahasiaku”.
Post a Comment Disqus Facebook