Rumi Sufi

0
Akulah Angin Engkaulah Api
Pergilah ke pangkuan Tuhan,
Dan Tuhan akan memelukmu dan menciummu,
Dan menunjukkan
Bahwa Ia tidak akan membiarkanmu lari dari-Nya.
Ia akan menyimpan hatimu dalam hati-Nya,
Siang dan malam (Ma’arif, h. 28)

Sesungguhnya dia telah mengalami tahapan mistik tertinggi, sesuatu yang sensual, suatu cinta yang sempurna kepada Tuhan, sampai dia berada dalam pelukan-Nya, dan dia menyadari aktivitas mencintai Tuhan ini, “kebersamaan” dengan segala sesuatu (maiyyah) dalam kehidupan segala yang tercipta.

Seseorang berkata: “Wahai, Tuanku Sana’i
Telah meninggal dunia!”
Aduhai, kematian orang semacam itu
Bukan hal yang sepele!
Ia bukan sekedar benang yang terbang
Bersama angin,
Ia bukan air yang membeku karena dingin,
Ia bukan sisir yang patah di rambut,
Ia bukan butiran yang hancur di dalam tanah.
Ia adalah emas yang ada dalam tebu... (D 1007)

Burhanuddin membimbing murid-muridnya melakukan latihan-latihan tasawuf yang telah digeluti selama empat abad terakhir oleh para sufi dan mengirimnya satu dua kali ke Damaskus, dimana banyak sufi, termasuk Ibnu Arabi menetap ditempat itu. 

Citra impianmu ada di dada kami
Sejak fajar kami sudah dapat merasakan sang surya (D 2669)

Syams adalah matahari yang luar biasa, matahari yang mengubah seluruh hidupnya, membakarnya, membuatnya menyala, dan membawanya kedalam cinta yang sempurna.

Wajahmu bak sang mentari, Wahai Syamsuddin
Yang dengannya hati berkelana bagai cawan!

Jalaluddin dan Maulana tak terpisahkan lagi; mereka manghabiskan hari-hari bersama, dan menurut riwayat, selama berbulan-bulan dapat bertahan hidup tanpa kebutuhan-kebutuhan dasar manusia ketika bersama-sama menuju Cinta Tuhan.

Namun, tiba-tiba muncul kecemburuan Tuhan
Dan mulut-mulut menjadi kasak-kusuk 

Penduduk Konya tidak suka melihat pengaruh Syams pada maulana, pada suatu hari, dia pun menghilang dengan misterius; semisterius kedatangannya.

Aku adalah zahid yang pandai, orang yang berjuang
Kawanku yang sehat,
Katakan mengapakah kau terbang
Seperti burung? (D 2245)

Jalaluddin merasa patah hati. Karena terpisah dari mataharinya, apa yang dilakukannya? Namun, pada saat inilah dia mulai berubah; dia menjadi seorang penyair, mulai mendengarkan musik, menari berputar-putar, selama berjam-jam. Dia sendiri tidak tahu apa yang terjadi

Aku menulis seratus surat,
Aku menulis seratus jalan-
Tampaknya tak kau baca selembar surat pun,
Tampaknyatak kau ketahui satu jalan pun! (D 2572)

Dia mencoba menulis surat tentang Syams, tetapi darwis itu menghilang tak tentu rimbanya dan jawaban pun tak kunjung tiba.

Siapa yang mengatakan bahwa Yang Kekal Abadi itu
Telah mati,
Siapa yang mengatakan bahwa Mentari Harapan
Yang disana telah mati
Ia adalah musuh Matahari; mendaki ke atas atap,
Ia menutupi matanya dan menangis;
“Sang Mentari telah mati!” (D Rub. No. 534)

Pada suatu malam, 5 Desember 1248, ketika Maulana dan temannya itu sedang berbicara, Syams dipanggil ke pintu belakang. Dia melangkah keluar dan tak pernah kembali. Maulana pasti dapat merasakan apa yang telah terjadi, tetapi tidak mau percaya bahwa temannya itu hilang.

Malam berpakaian hitam,
Untuk menunjukkan duka citanya
Bagaikan istri yang bergaun hitam
Setelah suaminya menjadi debu! (D 2130)

Syams tak pernah kembali; dan apakah hidup ini tanpa sang Matahari? Semesta alam tampaknya turut berduka cita bersama Maulana;

Bila orang itu mengatakan,
“Aku telah melihat Syams!”
Maka tanyakanlah,
“Kemanakah jalan menuju surga?”

Adakah sesuatu yang tersisa selain kehitaman setelah Matahari terbenam? Ketika seorang menyatakan bahwa ia telah melihat Syams, Maulana menjawab

Ia berkata: “Karena aku adalah dia,
Apa gunanya mencari?
Aku sama dengan dia, zatnyalah uang berbicara!
Sebernarnya yang kucari adalah diriku sendiri,
Itu pasti.
Yang mencari dalam tong, bak air anggur.”

Dengan harapan yang tak mungkin terjadi, Maulana pergi ke Suriah. Akan tetapi, kemudian “dia menemukannya dalam dirinya, bersinar bak rembulan”.

Aku terus bernyanyi bersama orang lain
Syamsuddin dan Syamsuddin,
Bul-bul di taman pun ikut bernyanyi,
Ayam jantan di perbukitan. (D 1081)

Sebelumnya, dia telah menyadari bahwa dia tak dapat lagi menyembunyikan nama Syams dan merasa bahwa semesta alam memuji sahabatnya bersama-sama dengan dirinya

Engkaulah Mentari, kamilah embun
Kau membimbing kami
Ke tempat yang paling tinggi! (D baris ke-35816)

Dia merasa Syams sedang menyalurkan gelombang rahmat tersebut

Karena aku hamba Sang Mentari,
Aku berbicara hanya tentang Mentari! (D 1621)

Dan segenap keberadaan sang penyair merupakan saksi bagi Syams walaupun lidahnya diam;

Tak Patutkah bila aku memanggilmu banda
[“abdi”, manusia]
Tapi aku takut memanggilmu Tuhan, khuda! (D 2678)

Karena perasaan inilah, dia menyebut-nyebut Syams dengan kata-kata yang terdengar menghina Tuhan sebab yang dilihatnya dalam diri temannya itu hampir-hampir manusia yang bersifat Ilahiah

Syamsulhaqq [Mentari kebenaran Ilahi]
Bila kulihat di cermin yang jernih
Apapun kecuali Tuhan, aku lebih buruk
Daripada seorang kafir! (D 1027)

Syair-syair semacam ini tentu saja membuat rakyat Konya marah. Akan tetapi, bagi Maulana tak ada keraguan:

Apakah ini kekafiran atau islam, dengarlah:
Kamu itu sinar Tuhan atau Tuhan, khuda (D 2711)

Dan meski dia menyadari posisinya yang sulit, dia berseru dalam baris diatas

Engkaulah sinar yang berkata kepada Musa:
Akulah Tuhan, Akulah Tuhan, Akulah Tuhan! (D 1526)

Dan dia mempertegas pernyataannya dalam baris-baris diatas

Ketika kau membaca “Demi Cahaya Pagi”,
Pandanglah Mentari!

Syam adalah orang yang mengetahui misteri-misteri yang ada pada Rasulullah. Itulah sebabnya tarian mistis, yang dilakukan oleh para darwis hingga masa sekarang ini, selalu dimulai dengan suatu himne mengenang Rasulullah yang berpuncak dalam puji-pujian kepada Syamsuddin

Ketika aku tidur di jalan temanku,
Pleiades (sekelompok bintang-penerj,)
Adalah bantal dan selimut bagiku (D 364)

Seluruh alam tampaknya mencintai kedua orang ini; dan nama teman yang dicintai itu mempunyai kekuatan yang sedemikian rupa sehingga siapapun yang mengucapkannya, tak akan pernah melihat kehancuran tulang belulangnya.

Wahai, buatlah aku menjadi haus,
Jangan beri aku air!
Jadikan aku kekasihmu!
Kuasailah dalam tidurku! (D 1751)

Ini adalah pertemuan dua orang yang tidak memiliki unsur romantis, walaupun ada syair-syair yang manis dan liris, mengenai Syams-tetapi hal itu tidak bersifat tidak mengenal waktu dan bersifat hikayat.

Dan hasilnya hanya tiga kata;
Aku terbakar, aku terbakar, aku terbakar.

Maulana tidak pernah benar-benar memahami bagaimana Cinta telah memberinya lagu dan musik, memberinya alim yang zuhud, dan orang yang berkeluarga baik-baik, bagaimana itu telah mengubahnya.

Ia yang muncul dengan gaun merah setahun yang lalu
Kini, telah tiba dengan jubah berwarna kecokelatan
Anggur itu tetap satu,
Hanya wahananya yang berubah
Betapa manisnya anggur itu memabukkan (D 650)

Orang saleh yang buta huruf ini, yang demikian telah menjadi bagian yang tak dapat dipisahkan dari kehidupan spiritual Rumi, kini secara tiba-tiba tampak bagi sang guru cermin sejati yang amat diinginkannya untuk menemukan jalan kembali kepada dirinya sendiri.

Sayap-sayap jibril dan malaikat menjadi biru;
Demi kau, orang-orang suci
Dan para rasul telah menangis....(D 2364)

Maulana menyanyikan lagu pemakaman yang sangat mengharukan, yang mengandung sajak berulang girista (telah menangis)

Kata guru; Untuk pemakamanku,
Ambilah genderang, rebana, dan gendang
Wahai teman-temanku,
Bergembira, bersuka ria, bertepuklah! (V 1112)

Pemakaman sang pandai emas pun bertabuh menjadi tarian berputar (sama), untuk memenuhi keinginannya sendiri, seperti dituturkan putranya Sultan Walad

Jiwa jamaah ini maju terus
Selangkah demi selangkah menuju jamaah,
Matahari di keningnya, dan ditangannya
Cawan demi cawan......(D 1583)

Nama Husamuddin disebutkan, dan dalam sebuah syair liris lainnya namanya muncul secara jelas dan kadang-kadang tersembunyi, seperti dalam lagu tarian suka cita berikut ini yang berakhir dengan permainan kata-kata:

Jika kau adalah sebuah nama-kini nama itu
Bercampur dengan yang dinamai
Tidak! Nama itu bagaikan sarung, dan yang dinamai
Adalah pedangnya (Husam).

Pada akhirnya Maulana menggunakan bahasa Arab:

Wahai Husamuddin, tuliskan penjelasan
Tentang Sultan Cinta (yaitu Syamsuddin). (D 738)

Karenanya, dia tampil sebagai bagian dari kepribadian Syams dan dengan begitu dapat diserahi tugas untuk menyimpan rahasia, seperti yang ditulis Maulana dalam Diwan:

Lebih baik jika sahabat tetap tertabiri!
Mari, dengarkan kisah ini:
Lebih baik misteri ini diceritakan
Dalam kisah orang lain, kisah lama! (M; 141)

Permintaan Husamuddin tentang Syams ditolak oleh Maulana yang akhirnya menenangkannya dengan baris-baris ini:

Wahai yang namanya adalah makanan lezat
Bagi jiwaku yang mabuk! (D 2229)

Namun, di akhir karya itu, Maulana bercerita tentang Zulaikha, istri Potiphar dan kerinduannya kepada Yusuf yang tampan

Jangan menangis: “Aduhai kenapa pergi!”
Dalam pemakamanku
Bagiku, inilah bahagia!
Jangan katakan, “Selamat tinggal”
Ketika aku dimasukkan ke liang lahat
Itu adalah tirai rahmat yang abadi! (D911)

Dia juga menghibur teman-temannya dengan memperingatkan mereka bahwa kematian bukan perpisahan, tetapi pembebasan bagi burung jiwa:

Bila gandum dari debuku,
Dan bila dimasak jadi roti-kemabukan
Akan bertambah.
Adonan; mabuk! Dan tukang roti!
Ovennya pun akan menyanyikan mazmur
Yang ekstatis!
Bila Datang ke makamku untuk mengunjungiku
Jangan datang ke makamku tanpa genderang,
Karena pada perjalanan Tuhan,
Orang yang berduka tidak diberi tempat (D 683) 

Dan dia berkata dengan penuh semangat kepada mereka:

Penduduk Kota, tua dan muda
Semuanya meratap, menangis, mengeluh keras,
Orang-orang desa, orang-orang Turki dan Yunani,
Mereka mencbik-cabik pakaian mereka
Karena perasaan sedih
Atas meninggalnya orang yang agung ini’
“Ia adalah Musa!”
Kata orang-orang yahudi.....(VN 121) 

Maulana meninggal dunia pada senja hari, 17 Desember 1273, dan setiap orang di Konya-baik yang kristen, Yahudi, maupun muslim-menghadiri pemakamannya, seperti yang dikatakan oleh putranya 

Di manakah aku, di manakah puisi?
Tetapi orang Turki membisikiku:
Hai, siapakah engkau? (D1949)

Bait diatas, yang ditulis dalam bahasa Turki, mengungkapkan sikap Maulana terhadap syairnya sendiri


Sumber:
Diambil dari buku Akulah Angin Engkaulah Api (hidup dan karya Jalaluddin Rumi), Pengarang Annemarie Schimmel, Mizan, 2005

Jangan lupa dukung Mistikus Channel Official Youtube Rumi Sufi Blog dengan cara LIKE, SHARE, SUBSCRIBE:





Terima kasih telah membaca Jalan Menuju Konya | Silahkan share Jalan Menuju Konya melalui media sosial. Untuk menyimak posting terbaru silahkan Like Facebook :
| Twitter : | Youtube Channel:
Info :
Sudah berapa lama Anda menahan rindu untuk berangkat ke Baitullah? Melihat Ka’bah langsung dalam jarak dekat dan berkesempatan berziarah ke makam Rasulullah. Untuk menjawab kerinduan Anda, silahkan klik Instagram | Facebook.

Post a Comment Disqus

 
Top