Keadaan manusia itu seperti ini: sayap malaikat diikatkan pada ekor keledai sehingga keledai itu barangkali bisa juga menjadi malaikat, berkat cahaya yang terjadi karena bersama malaikat. (Fihi ma Fihi, Bab 26)
Inilah amsal yang mengesankan, sebab, amsal ini menggambarkan kondisi manusia, fakta bahwa satu-satunya makhluk yang memiliki sejumlah kehendak bebas terletak antara binatang dan malaikat, antara dunia materi murni dan dunia ruh murni
Dialah cahaya Tuhan, dia bukanlah “kekasih” yang itu Dialah pencipta, yang hampir saja disebut: Dia bukanlah ciptaan!
Maulana memuji wanita, keyakinan pada takdir mutlak berarti menisbahkan tanggung jawab atas perbuatan dosa merupakan tanggung jawab Tuhan, dalam fihi ma fihi diperjelas:
Seorang pria masuk ke kebun, memanjat pohon, dan menyantap buahnya. Ketika tukang kebun memergokinya, dia mengatakan bahwa dia hanyalah atas perkenan Tuhan. Lalu tukang kebun memaksanya turun, memanggil pelayannya, dan mencambuk pria itu “dengan cambuknya Tuhan” hingga pria itu mengakui bahwa dirinya telah mencuri buah-buahan atas kehendaknya sendiri, bukan karena atas kehendak Tuhan ....
Dalam pendekatan terhadap problem kehendak bebas dan takdir ini, Maulana tampaknya mengikuti setiap sikap teologis ayahnya. Maulana telah merumuskan rahasia kehendak bebas dan aplikasinya dalam baris syair yang indah dalam Matsnawi:
Kehendak bebas itu ikhtiar untuk bersyukur pada Tuhan atas kemurahhatian-Nya. (M 1929)
Makanlah buah yang kamu tanam sendiri,
kenakan pakaian yang kamu pintal sendiri!
Lihatlah botol (obat) air seni perbuatan! (D 1134)
Maulana mengajarkan kepada pendengarnya pentingnya perbuatan baik kadang-kadang dalam terminologi medis:
Banteng dipikul!
Karena menolak membawa muatan,
Banteng tidak dipukul walaupun ia tidak mengeluarkan sayap! (M V 3102)
Dunia ini seperti batu ambar (kahruba) dan memikat jerami,
Ketika tanaman gandum sudah berbuah,
ia tidak bercemas hati karena batu ambar
(sebab ia tidak lagi terpikat olehnya) (D Tarji’band No. 25)
Maulana memperingatkan pembacanya agar senantiasa mengingat-ingat perkataan penting, “Orang Mukmin itu cerminnya orang Mukmin.”
Aku sudah muak dengan binatang buas dan binatang lain;
yang kuinginkan hanyalah manusia, insanam arzust!
Pencari dunia itu wanita,
pencari akhirat itu hermaprodit,
pencari Tuhan itu pria.
Akan tetapi itu tidak mencegah kemungkinan bahwa wanita bisa juga menjadi “manusia” dalam pengertian ini. “Manusianya Tuhan” tidak ada hubungannya dengan jenis kelamin:
Jika karena jenggot dan testis lantas dia “pria”
Rusa jantan pun cukup berambut dan berjenggot! (M V 3345)
Maulana menyindir orang-orang yang pura-pura mengikuti jalan tasawuf:
Jika diri yang telanjang itu “manusia”,
Tentu bawang putih pun juga manusia! (D 1069)
Rumi secara cerdas dengan ungkapan-ungkapan Al-Quran mengenai “Muslimah sejati”. Lalu, dia bertutur kepada pendengarnya yang saleh:
Ahlak bagusmu akan menemuimu setelah kematianmu,
Bak wanita berwajah purnama,
ahlak ini berjalan anggun ...
kalau kamu sudah bercerai dengan tubuh,
akan kamu lihat barisan bidadari,
“Wanita Muslim, wanita beriman, wanita saleh dan bertobat” (QS Al-Tahrim [66]: 5)
Sifat-sifatmu akan menyongsong usungan mayatmu ...
Dalam peti mati, sifat-sifat ini akan menemanimu,
Mereka akan mengikutimu bak putra dan putrimu,
Lalu kamu akan mengenakan pakaian dari pakan dan lungsin hasil ibadahmu ... (D 385)
Bila nafsu berkata “meong” seperti kucing,
kutaruh nafsu itu di dalam tas bagaikan kucing! (D 1656)
Cintalah yang diperlukan untuk mengubah “setan”nya manusia menjadi malaikat, logamnya menjadi emas
Begitu Sulaiman pergi,
bertakhtalah setan sebagai kaisar;
begitu kesabaran dan akal pergi,
jadilah nafsumu “pendorong ke keburukan” (D 455)
Maulana tahu benar bahwa amal-amal ibadah pun bisa juga merupakan hasil aktivitas nafsu, sebab banyak orang yang merasa angkuh lantaran merasa sudah beribadah. Itulah sebabnya:
Di tangan kanannya nafsu memegang tasbih dan Al-Quran,
Di lengan bajunya tersembunyi pedang dan pisau. (M III 2554ff.)
Bila jiwa pergi, buatkan aku ruang di bawah debu,
Debu bertebaran di rumah ketika ibu pergi! (D 830)
Namun jiwa, anak rupawan dalam ayunan “tubuh”, tidak saja anak seperti Isa; ia juga ibu yang tinggal di rumah tubuh, dan sekali ia pergi, tibalah saat kematian, seperti kata Maulana dalam amsal diatas
Dengan tapak tangannya,
cintanya mengambil hatiku yang merana,
lalu mencium (bau)-nya: Kalau hati ini tidak indah,
mana mungkin dapat menjadi buket kembang bagi-Nya? (D 2130)
Seorang mengetuk pintu sahabatnya. “Siapa kamu, apa kamu orang yang dinanti-nantikan?” tanya sahabat. Orang itu menyahut: “Aku!” Sang sahabat berkata: “Enyahlah dari sini, ini bukan tempatnya orang mentah dan kasar!” Apalagi yang dapat mematangkan yang mentah dan menyelamatkannya, kalau bukan api keterpisahan dan api pengasingan? Setahun penuh orang malang itu berkelana, dan terbakar dalam keterpisahan dari sahabatnya, lalu dia pun jadi matang, kemudian kembali dan dengan hati-hati mendekati tempat tinggal sang sahabat. Dia berjalan mengitari tempat itu dengan rasa cemas, jangan-jangan dari bibirnya keluar kata-kata kasar. “Siapa itu yang ada dipintu?” seru sang sahabat. “Dikau, kawan!” demikian jawabnya. “Masuklah, kini kamu itu aku di rumah ini tak ada tempat bagi dua ‘aku’!” kata sang sahabat. (M 13056-63)
Dalam kisah yang sederhana, kisah ini berisi tentang perlunya sang abdi sirna dalam Sang Tercinta
Kau bilang: “Rumah raja (khaqan) itu,
hatinya mereka yang merindu”
Aku tak punya hati, duhai jiwaku!
Lantas di mana rumahmu? (D 575)
Akan tetapi, apa yang harus dilakukan ketika pencinta telah kehilangan hatinya ketika Kekasih telah membawanya pergi?
Matsnawi-yi maulawi-yi ma’nawi hast qur’an dar zaban-i pahlawi. (Bait-bait Al-Quran dalam lidah Persia).
Demikian tulis Jami di Herat pada abad ke-15. Herat adalah ibu kota kekaisaran Timur Lenk yang sekarang disebut Afghanistan, negeri leluhur Maulana. Penulis biografi Maulana Aflaki yang menulis hampir seabad setelah kematian sang guru dan seabad sebelum Jami. Maulana telah menenggelamkan dirinya dalam kata-kata suci itu dan dalam fihi ma fihi dia menjelaskan sejauh mana arti Al-Quran baginya:
Al-Quran adalah brokar (kain sutra berat berlungsin emas) bersisi dua. Sebagian orang senang dengan sisi yang satu, sebagian orang lagi senang dengan sisi yang satunya lagi. Keduanya itu benar, sebab Allah Swt. Menghendaki agar kedua kelompok itu mengambil manfaat darinya. Begitu pula, wanita mempunyai suami dan bayi; suami dan bayi senang kepada wanita itu secara berbeda. Bayi senang pada buah dada dan air susunya, sedangkan suami senang pada ciuman, tidur bersama, dan pelukannya. Dalam tasawuf, sebaagian orang adalah anak yang suka minum susu-orang-orang seperti ini senang kepada makna lahiriah Al-Quran. Akan tetapi, manusia-manusia sejati tahu kesenangan lain dan memiliki pemahaman yang berbeda mengenai makna-makna batiniah Al-Quran.
Mereka bilang: “Bacakan Yasin supaya Cinta jadi tenang!”
Apa gunanya Yasin bagi jiwa yang sudah sampai di bibir
(yaitu bagi seseorang yang sudah berada di ujung kematian) (D 2609)
Pada zaman Maulana, kebiasaan membaca Surah Ya Sin (Surah 36) untuk orang yang sudah meninggal dunia meluas kemana-mana, karenanya dia mengatakan syair diatas
Mengapa kamu tetap membaca ‘abasa
(dia bermuka masam) (QS ‘Abasa [80]: 1)
Padahal Jiwa anak sudah sampai tabaraka (Mahasuci) (QS Al-Mulk [67]: 1)? (D 2625)
Dengan kata lain, dukacita, seperti yang diungkapkan dalam firman Tuhan kepada Nabi Saw., yang merupakan celaan terhadap seseorang yang bermuka masam ketika orang buta menemuinya, telah digantikan sukacita yang diungkapkan oleh kata mahasuci dalam bagian sebelumnya
Ketika dia bilang: Lilin meleleh dengan lembut! Itu artinya: Sahabatku lebih baik hati kepadaku. Bila dia bilang: Lihat, bulan terbit! Bila dia bilang: Willow (nama pohon) kini menghijau! Bila dia bilang: Dedaunan pada bergoyang Bila dia bilang: Betapa indahnya nyala rue (nama tanaman) Bila dia bilang: Burung-burung berkidung kepada bunga-bunga mawar, Bila dia bilang: Pukul kuat-kuat permadaniku! Dan dia bilang: Roti pada hambar! Dan dia bilang: Ada yang tak beres pada lingkungan... Dia memuji-artinya, “Pelukan manisnya.” Dia mencomel-artinya, “Dia jauh!” Dan ketika dia sering menyebut-nyebut nama-Maksudnya tak lain nama Yusuf ....
Begitu pula, segenap bangunan nama-nama yang diulang-ulang sufi pencinta Tuhan tak lain adalah tabir yang menutupi Realitas
Tubuh itu seperti Maryam, masing-masing kita punya satu Isa. Namun, selama tidak ada kepedihan berarti Isa kita tidak lahir. Jika kepedihan tak pernah datang, Isa kita kembali ke tempat asalnya di jalan rahasia, dan kita tertinggal di belakang, dalam kehidupan dan tidak memiliki apa pun darinya.
Inilah gagasan mistik tentang kelahiran Isa dalam jiwa yang akan diungkapkan setengah abad kemudian oleh Meister Eckhart di Jerman: makhluk spiritual akan lahir dalam jiwa manusia, asal saja kita sudi memikul beban kepedihan yang ditimbulkan oleh Cinta Ilahi
Di hati dukacita karena
Dia adalah seperti kekayaan;
hatiku adalah “cahaya di atas cahaya” (QS Al-Nur [24]: 35)
Bagai Maryam nan rupawan, yang mengandung Isa (D 565)
Jiwa seperti Isa di dalam ayunan “Tubuh”.
Di manakah Maryam yang membuat ayunan kita? (D 2176)
Jauh sekali ekor keledai dari ayunan Isa! (D 1107)
Menurut Aflaki, Syams mengatakan bahwa:
Tuhan sendiri tidak dapat berbuat apa-apa tanpa Muhammad karena Dia telah berfirman dalam Al-Quran: Dan andaikata Kami menghendaki, benar-benarlah Kami utus pada tiap-tiap negeri seorang yang memberi peringatan (rasul) (QS Al-Furqan [25]: 51) namun, Dia tidak menginginkan itu, dan Dia tidak mau lau syi’na (jika Kami mau) ini .... (Man.665)
Dua jalan menuju jiwa, yang secara kasar sama dengan jalan nabi, yang membuat segalanya menjadi terang benderang dengan cahaya sejarah, dan jalan sufi, yang menemukan “Tuhan” di samudra jiwanya
Jiwaku ada dilangit,
sedangkan perjalanannya (Yunani) ke lereng
sebab kedekatan dengan Tuhan itu tidak terbilang
Ya Habib Alloh rasul Allah ki yakta’i tu-i,
Duhai sahabat Tuhan, Rasul Allah,
dikaulah satu-satunya, Yang dipilih oleh Yang Mahakuasa,
dikau suci dan tiada tara.
Ada seratus ribu buku syair semuanya jadi malu di hadapan kata sang buta huruf (Nabi)! (MI 529)
Rumi membuat interprestasi yang lebih teoretis mengenai istilah ummi; pengetahuan Nabi itu bersifat bawaan bukan diperoleh melalui belajar, sebab dia memperoleh pengetahuannya dari akal pertama, sumber segala kearifan
Duhai pengeran penunggang perintah “Katakan!” (Qul)
Duhai, yang di hadapan akalnya Jiwa Universal
jadi seperti anak kecil yang karena sifat kekanak-kanakan dan kejahilannya
mengungsi lengan bajunya.... (D 1793)
Keberuntungan kaum darwis berasal dari “Rahmat” (bagi alam semesta);
Yapon (gaun) mereka bersinar bagaikan bulan,
dan syal mereka harumnya bagaikan bunga mawar! (D 2)
Demikianlah sebutan Rumi terhadap Nabi dalam Diwan, insan yang menurut sebagian syair sama dengan Cinta, karena Muhammad diutus sebagai rahmat bagi semesta alam (QS Al-Anbiya [21]: 107)
Jika kamu ingin warna dan keharuman sempurna air anggur
Ahmad Duhai pemimpin kafilah,
berhentilah sejenak di pintu gerbang Tabriz! (D 1966)
Bagi Rumi, tak diragukan lagi, “sahabat Tuhan” yang ideal itu adalah Syamsi Tabrizi, Maulana berkata:
Apabila ruh Manshur (Al-Hallaj) terlihat oleh syaikh Fariduddin ‘Aththar seratus lima puluh tahun setelah meninggalnya Al-Hallaj, dan menjadi guru spiritual syaikh ini, kamu pun akan selalu bersamaku apapun yang kiranya akan terjadi, dan ingatlah aku, sehingga aku bisa memperlihatkan diriku di hadapanmu dalam bentuk apa pun kiranya
Berapa banyak Simurgh yang litaninya,
“Ana’ al-haqq” terbakar sayap-sayap
dari bulu-bulunya ketika terbang ke sana! (D 1854)
“Aku”-nya Manshur tentu saja rahmat;
“Aku”-nya Fir’aun terkutuk!
Ketika persahabatan Manshur dengan Tuhan mencapai puncak tujuannya,
dia pun menjadi musuh dirinya sendiri,
dan menyirnakan dirinya ....
Akulah Manshur yang tergantung di dahan Yang Maha Pengasih;
Ciuman dan pelukan dari bibir si jahat,
kurasakan kehangatannya. (D 581)
Bunuhlah aku, duhai sahabat-sahabat terpercayaku,
sebab dalam diriku yang sudah mati tiada lagi kehidupan
Maulana tahu bahwa Hallaj dan Bayazid juga adalah pencinta dan terpaksa harus mengalami penderitaan atas ucapan-ucapan mereka padahal dia sendiri sebagai kekasih sebenarnya baik-baik saja
Dengan sebelah tangan mereka
meneguk air anggur murni iman,
dengan tangannya yang satu lagi,
mereka memegang bendera kekufuran. (D 785)
Tanpa anggur, insannya Tuhan itu mabuk,
Tanpa daging panggang,
insannnya Tuhan itu sudah kenyang.
Kebingungan, itulah keadaan insannya Tuhan,
Insannya Tuhan tak butuh makan dan jua tidur.
Insannya Tuhan: raja dalam jubah darwis,
Insannya Tuhan: kekayaan tertutup debu.
Insannya Tuhan itu tidak di udara dan tidak di bumi,
Insannya Tuhan: bukan dari air, juga bukan dari api.
Insannya Tuhan hujan mutiara tanpa berawan.
Insannya Tuhan hujan punya seratus bulan dan langit,
Insannya Tuhan punya seratus mentari.
Melalui kebenaran Ilahi insannya Tuhan tahu,
Tanpa buku, insannya Tuhan alim.
Insannya Tuhan: tiada bid’ah, tiada iman,
Insannya Tuhan tak tahu yang salah atau yang benar.
Lihat! Insannya Tuhan berkendara dari Bukan-Wujud,
Insannya Tuhan datang ke sini penuh kejayaan,
Insannya Tuhan tersembunyi, Syamsuddin!
Insannya Tuhan: Cari dan temukan dia, hati!
Maulana melukiskan manusia idealnya Tuhan. Syair tersebut memperlihatkan dirinya dengan jelas sekali, yang tidak terikat empat elemen yang membentuk dunia ciptaan ini, yang tinggal dalam ketenangan yang sempurna di alam Cinta yang abadi
Telah kau teguk anggur “Kelengahan”,
Dan jadilah kau murtad:
Bau busuk mulutmu membenarkan itu. (D 2261)
Ingin kuambil sendok yang penuh darah
Dari periuk ketel “Jiwa” (D 1691).
Manusia itu seperti periuk ketel atau kenceng (periuk besar), dan dari bau busuk yang disebarkan dari periuk tersebut dapat disimpulkan isi periuknya
Man mast tu diwana-kay barad mara khana
Aku minum dan kamu gila-siapa yang akan
Membawaku pulang?
Bukankah sudah kukatakan: Minumlah dua tiga gelas,
Jangan banyak-banyak”
Kemarin kami mabuk karena cawan,
Sekarang cawan mabuk karena kami (D RUB. No. 291)
Cermin tak bakal lagi jadi besi;
Minuman anggur tak bakal lagi
Jadi buah anggur masam. (M II 1317)
Kemabukan pada Ilahi itu jauh lebih tinggi dibanding pengaruh anggur materiil terhadap hati
Kekuatan jibril itu bukanlah dari dapur (M III 6f)
Kukatakan padanya: “Ini bulan Ramadhan,
siang hari lagi! Katanya: “Diam!
Karena anggur jiwa tidak membatalkan puasa
Jangan khawatir” (D 1214)
Duhai yang telah pergi berziarah
Diman dirimu, dimana, oh dimana?
Di sini, di sinilah Kekasih berada!
Mari, mari, oh mari!
Sahabatmu, dia itu disebelahmu,
Dia itu tersesat di gurun
Udara macam apa ini?
Bila dikau luhat bentuk Kekasih
Yang tidak berbentuk
Dikaulah rumah, guru,
Dikaulah Ka’bah, dikau! ....
Di manakah sekuntum bunga mawar,
Jika kamu kebun ini?
Di mana, esensi kemuliaan jiwa
Bila dikau Samudra Allah?
Memang namun kesulitanmu
Dapat berubah jadi kekayaan
Betapa sedihnya dikau sendiri menabiri
Kekayaanmu sendiri! (D 648)
Sang haji mencium batu hitam Ka’bah
Karena yang dipikirkan bibir Kekasih. (D 617)
Kezuhudan sayapnya patah,
Sedangkan penyesalan telah menyesal
Mana mungkin pencinta berkaitan
Dengan penyesalan?
Cinta itu bencana bagi tobat
Yang sekaligus menyiksanya
Apa yang harus dilakukan tobat
Dengan cinta yang menelan tobat? (D 1265)
Permulaan thariqah adalah tobat, tobat adalah keharusan berpaling dari dunia beserta kesenangan-kesenangannya ke nilai-nilai spiritual
Kesabaranku mati pada malam ketika Cinta lahir!
Tidak, itu salah! Karena kalau saja masih tersisa
Sedikit kesabaran pada diriku,
Berarti aku tak percaya pada cinta-Nya! (D 2908)
Kesabaranku selalu bilang; “Aku membawa
Kabar gembira tentang persatuan dari-Nya!”
Namun, rasa bersyukur selalu bilang: “Akulah pemilik
Kekayaan mahaluas yang berasal dari-Nya!” (D 2142)
Pelaut selalu berdiri di atas kekhawatiran
Dan harapan (D 395)
Adakah yang telah menaburkan benih harapan,
Lalu musim semi rahmat Tuhan
Tidak memberinya panen
Seratus kali lipat? (D 1253)
Menurut kaum sufi dan khususnya Rumi mencintai orang-orang yang “berpikiran baik tentang-Nya” dan akan memperlakukan mereka seperti yang mereka harapkan dari-Nya
Kamukah cahaya Zat Ilahi, atau kamu itu Allahi?
Setiap jiwa yang sudah terdewakan (Allahi)
Memasuki ruang rahasia raja
Ia itu ular; lalu jadi ikan, ia berasal dari debu,
Lalu menuju mata air kautsar di surga .... (D 538)
Allahi ini haruslah diterjemahkan sebagai “yang bersama Tuhan”, bersama Allah, sebutan untuk Tuhan dalam tradisi Islam-suatu paham yang sulit diterima, dalam syair lain Maulana menggunakan Allahi sebagai istilah simpel untuk “menyatu dengan Tuhan”, sirna dalam Tuhan”
Cinta itu dari Adam.
Sedangkan akal baik itu dari setan! (M IV 1402)
Aku mati sebagai mineral, lalu jadi tanaman,
Aku mati sebagai tanaman, lalu jadi hewan,
Aku mati sebagai hewan, lalu jadi manusia.
Betapa takutnya aku,
Karena aku tak dapat sirna melalui mati!
Begitu aku mati sebagai manusia,
Jadilah aku malaikat, lalu kulepaskan
Kemalaikatanku,
Karena Bukan-Wujud (adam) berseru
Dengan suara seperti organ:
“Sesungguhnya kita milik-Nya, kepada-Nyalah kita
Kembali!” (QS Al-Baqarah [2:] 156) (M III 3901)
Apa yang dicari sang zahid? Rahmat-Mu.
Apa yang dicari sang pencinta?
Kepedihan (zahmat) dari-Mu.
Yang mati dalam jubah,
Yang ini hidup dalam kain kafan! (D 1804)
Duhai, kalau pohon bisa berkelana
Dan bergerak dengan kaki dan sayap!
Tentu ia akan menderita karena ayunan kapak
Juga akan merasakan pedihnya gergaji!
Karena kalau mentari tidak berkelana jauh
Menembus malam
Mana mungkin setiap pagi
Dunia akan cerah ceria?
Bila air samudra
Tidak naik langit,
Mana mungkin tumbuh-tumbuhan akan tersuburkan
Oleh irigasi dan hujan yang lembut?
Tetes air yang meningggalkan negerinya,
Samudra, dan lalu kembali
Mendapati tiram sedang menanti
Dan tumbuh menjadi mutiara.
Tidakkah Yusuf meninggalkan ayahnya,
Dalam sedih dan air mata dan putus asa?
Tidakkah lewat perjalanan itu
Dia memperoleh kerajaan dan kemenangan?
Tidakkah Nabi pergi
Ke Madinah yang jauh, sobat?
Di sana didapatinya kerajaan baru
Dan perintahnya seratus negeri.
Kalau tak punya kaki untuk berkelana,
berkelanalah ke dalam dirimu,
dan bak tambang batu delima
terima jejak sinar mentari!
Perjalanan seperti itu
Akan membawamu ke dirimu,
Mengubah debu menjadi emas murni!
Tinggalkan pahit dan cuka,
Pergilah ke manis!
Sebab air laut pun membuahkan
Seribu jenis buah.
Matahari Tabriz itulah
Yang menampilkan karya amat bagus itu,
Karena pohon jadi indah
Kala disentuh mentari.
Segenggam debu bilang: “Akulah kucir!”
Segenggam debu bilang: “Akulah tulang!”
Kamu akan bingung-tiba-tiba Cinta datang:
“Sini mendekatlah! Akulah Kehidupan abadi bagimu!” (D 1515)
Maulana menulis kalimat-kalimat yang menolak skeptikisme ‘Umar Khayyam dan mengajarkan kepada kita, seperti ibu rumah tangga memberikan pelajaran kepada sayur-mayur bahwa Cinta adalah ruh penggerak dan tujuan hidup:
Diambil dari buku Akulah Angin Engkaulah Api (hidup dan karya Jalaluddin Rumi), Pengarang Annemarie Schimmel, Mizan, 2005
Post a Comment Disqus Facebook