Oleh : Abdul Hadi W. M.
Pengantar
Karangan-karangan bercorak tasawuf memiliki arti penting dalam sejarah tradisi intelektual Islam di Nusantara dan pembentukan kebudayaan Melayu. Pemahaman atas ajaran Islam secara lebih mendalam di kalangan terpelajar Nusantara dan terserapnya kebudayaan Melayu ke dalam Islam, banyak dibantu oleh kegiatan para sufi dan karangan-karangan yang mereka tulis dalam bahasa Melayu.
Karangan-karangan tersebut merupakan perluasan dan perpanjangan dari tafsir terhadap teks-teks suci Islam yang dilakukan dengan menggunakan kaidah-kaidah dan konsep-konsep sufi tentang metafisika, etika, kalam, sejarah, estetika, epistemologi, dan anthropologi. Karena perannya itu karangan-karangan tersebut turut pula membentuk pandangan hidup, sistem nilai dan gambaran dunia (Weltanschauung) penduduk kepulauan Melayu khususnya, Nusantara umumnya (al-Attas 1972; Braginsky 1993:1).
Namun demikian khazanahnya yang kaya itu sampai sekarang masih belum membangkitkan minat yang memadai di kalangan sarjana-sarjana Indonesia untuk menelitinya. Karena itu karya-karya tersebut kurang dikenal oleh kalangan terpelajar Muslim. Kajian yang ada sebagian besar dilakukan oleh sarjana-sarjana asing seperti Kraemer (1921), Doorenbos (1933), Nieuwenhuyze (1941), Vorhoeve (1951), Brakel (1968), Winstedt (1969), al-Attas (1966, 1970), Drewes dan Brakel (1986), Braginsky (1993, 1994, 1998, dan 2004). Kajian-kajian tersebut tidak kecil sumbangannya terhadap perkembangan dan kemantapan studi keindonesiaan.
Karangan ini dimaksudkan sebagai pengantar untuk mendorong bangkitnya minat meneliti khazanah yang begitu melimpah itu, namun seolah-olah tersia-siakan selama ini. Yang akan dibahas ialah aspek estetika dan kandungan keruhanian atau intelektual dari karya-karya tersebut, khususnya dua genrenya yang penting yakni Syair Makrifat dan Alegori Sufi.
Tasawuf dan Sastra Melayu
Tasawuf adalah cabang ilmu-ilmu Islam yang membicarakan kodrat Tuhan dan kodrat manusia, serta kebajikan-kebajikan ruhani yang harus dilaksanakan untuk mewujudkan hubungan yang karib dan mesra antara manusia dan Tuhan. Kebajikan-kebajikan ruhani itu dijelaskan melalui konsep maqamat atau peringkat-peringkat ruhani dan ahwal atau keadaan-keadaan ruhani yang dialami seorang ahli suluk dalam menempuh jalan tasawuf (Nasr 1980:22). Kaidah pelaksanaannya sering disebut jalan Cinta (`isyq) dan makrifat (ma`rifa). Tujuannya ialah mencapai makna terdalam Tauhid melalui musyahadah yang buahnya adalah kasyf, yaitu tersingkapnya hijab yang membuat penglihatan batin terang (al-Taftazani 1983:110-1).
Sifat pengalaman mistik yang diperoleh seorang ahli suluk tidak jarang memiliki kemiripan dengan sifat pengalaman puitik. Keduanya melahirkan pengetahuan nuitik (noetics), yang di dalamnya aspek kognitif ilmu dan aspek afektif puisi atau rasa (dzawq) berpadu menjadi kesatuan yang menggerakkan kegairahan dan kreativitas orang yang mengalaminya (Gilani Kamran 1398 H:9-10). Oleh karena itu bukanlah suatu kebetulan apabila sejak permulaan perkembangannya tasawuf memiliki hubungan erat dengan sastra. Ini tampak pada tokoh-tokohnya yang awal seperti Rabi`ah al-Adawiyah (w. 185 H), Dhun Nun al-Misri (w. 859 M), Bayazid al-Bhistami (w. 879 M), Hasan al-Nuri (w. 907 M), Mansur al-Hallaj (w. 922 M), dan lin-lain. Pengalaman kesufian yang mereka peroleh banyak yang disampaikan melalui ungkapan-ungkapan puitik sastra.
Pada abad ke-13 – 17 M, sejalan dengan luasnya penerimaan terhadap tasawuf oleh kalangan luas masyarakat Muslim, sastra sufi mulai mendaki puncak perkembangannya dalam kesusastraan Arab dan Persia. Pada masa-masa yang penuh pergolakan dan aktivitas penyebaran Islam yang begitu intensif di Afrika, Asia Selatan dan Asia Tenggara, muncul banyak sekali wali sufi, tokoh tariqat, ulama, dan filosof yang juga tampil sebagai sastrawan dan penyair besar. Di antara mereka yang paling terkemuka ialah Ibn `Arabi, Ibn Farid, Fariduddin al-`Aththar, Jalaluddin Rumi, Fakhrudin `Iraqi, dan masih banyak lagi. Berkat peranan mereka yang menonjol di kalangan penduduk yang beragama Islam, dan aktivitas mereka di lapangan kebudayaan, tasawuf lantas mewarnai perkembangan sastra Islam. Ini berlaku bukan saja dalam sastra Persia, tetapi dalam sastra Turki Usmani, Urdu, Shindi, Swahili, dan Melayu (Schimmel 1980:9; Nasr 1980:12:Braginsky 1994:1-7).
Di Nusantara, bangkit dan berkembangnya kesusastraan Melayu merupakan dampak langsung dari penyebaran agama Islam. Para wali, ulama dan guru tasawuf memainkan peranan utama dalam penyebaran itu. Sejak awal pula para cendekiawan sufi itu memainkan peranan penting dalam penulisan kitab keilmuan dan sastra Melayu. Karena itu tidak mengherankan jika tasawuf memberikan warna dominan terhadap perkembangan sastra Melayu (John 1961, al-Attas 1972). Peranan itu berlanjut terus, setidak-tidaknya hingga akhir abad ke-19 M. Karya para penyair sufi itu bahkan masih meninggalkan jejak dan pengaruh dalam kesusastraan Indonesia modern hingga akhir abad ke-20 M.
Bukti hadirnya karya bercorak tasawuf pada masa awal penyebaran agama Islam di kepulauan Melayu tidak sukar dicari. Teks-teks yang termasuk agiografi sufi, yang ke dalamnya termasuk syair-syair pujian kepada Nabi Muhammad s.a.w. (al-mada`ih al-nabawiya) dan ratib, sudah dikenal di kepulauan Melayu pada abad ke-14 dan 15 M. Zainuddin al-Ma`bari, sejarawan abad ke-15 M dari Malabar, menyebutkan dalam Tuhfat al-Mujahidin bahwa peranan pembacaan madah pujian kepada Nabi Muhammad s.a.w. itu tidak kecil peranannya dalam penyebaran agama Islam di India dan Indonesia (Ismail Hamid 1983).
Agiografi sufi yang populer yang telah muncul pada masa awal ialah Hikayat Kejadian Nur Muhammad. Hikayat ini menguraikan asas-asas kosmologi sufi menggunakan bahasa figuratif sastra yang simbolik. Teks sufi lain yang terbilang awal ialah terjemahan Bahr al-Lahut, karangan Abdullah `Arif, seorang sufi Arab abad ke-13 M (Mahayudin Haji Yahaya 1995). Sejarah Melayu (1607) memberitakan pula bahwa Sultan Malaka pada pertengahan abad ke-15 M telah meminta seorang ulama dari Pasai, Abdullah Patakan untuk menerjemahkan sebuah kitab tasawuf Arab Durr al-Manzun karangan Maulana Ishaq (Ibrahim Alfian 1999).
Teks sezaman ialah terjemahan Qasidah al-Burdah karangan al-Busyairi (w. 1213 M), Ba`d al-Amali karangan Sirajuddin `Usman al-Asyi (w. 1173 M), Hikayat Burung Pingai saduran alegori sufi Persia Mantiq al-Thayr (Percakapan Burung) karya Fariduddin al-`Aththar; Hikayat Yusuf, saduran dari Yusuf-i Zulaikha karangan Abdul Rahman al-Jami. Dijumpai pula teks Bunga Rampai Puisi Tasawuf terjemahan sajak-sajak sufi Arab dan Persia seperti Abu Tammam, Jalaluddin al-Rumi, Umar al-Khayyami, dan Muslihuddin Sa`di (Iskandar 1996:314-17). Juga Ratib Syekh Saman, Ratib Syekh Abdul Qadir Jailani, dan lain-lain yang biasa digunakan oleh perkumpulan-perkumpulan tariqat sufi dalam majlis zikir dan sama’.
Pada akhir abad ke-16 M perkembangan sastra sufi mulai menapak masa puncaknya sejalan dengan derasnya proses islamisasi kepulauan Nusantara. Pada masa inilah muncul tokoh terkemuka seperti Hamzah Fansuri, dan murid-muridnya di Barus dan Aceh Sebagian besar karya-karya tersebut anonim, kecuali karangan dua murid Syekh Hamzah Fansuri, yaitu Abdul Jamal dan Hasan Fansuri. Di antara karya anonim itu ialah Syair Perahu (tiga versi), Syair Dagang, Ikat-ikatan Bahr al-Nisa`, Syair Alif, dan lain-lain (Abdul Hadi W. M. 2001:171-9). Melalui karya-karyanya tersebut para sufi Melayu membentuk madzab tersendiri dalam penulisan puisi keruhanian dan menggunakan media syair, sajak empat baris yang mereka ciptakan sendiri dengan menggabungkan puitika pantun Melayu dan ruba’i Persia (Ibid 2001:206-7).
Periode ini disebut oleh Braginsky (1994:1-2) sebagai periode ‘kesadaran diri’. Sebagai dampak dari proses islamisasi terhadap kebudayaan dan tradisi intelektual Melayu, kepengarangan invidual (individual authorship) kian ditekankan dalam penulisan kitab keagamaan dan sastra, oleh karena Islam mengajarkan tanggungjawab individu pemeluknya dalam segala bidang kegiatan kemanusiaan.
Pada masa ini kebudayaan Melayu sepenuhnya diintegrasikan ke dalam Islam. Kesusastraannya pun lantas menjadi bagian resmi dari kesusastraan Islam. Pengintegrasian ini ditandai dengan penggunaan sistem sastra yang dapat digambarkan sebagai sebuah lingkaran konsentrik, artinya memusat kepada sumbu yang satu. Di situ karya-karya penulis Melayu secara bersama-sama seolah membentuk sebuah lingkaran mengelilingi pusat yang satu, yaitu teks-teks keagamaan Islam yang penting seperti al-Qur’an dan tafsirnya, serta hadis, dan ilmu-ilmu yang diturunkan daripadanya.
Sastra Sufi dan Pengelompokannya
Banyak takrif diberikan terhadap sastra sufi atau karya-karya yang disebut sebagai bercorak tasawuf. Nasr (1980:8) misalnya mengatakan sebagai karangan-karangan mengenai peringkat-peringkat ruhani (maqamat) dan keadaan-keadaan ruhani (ahwal) yang dicapai serta dialami ahli-ahli suluk dalam menjalankan kebajikan ruhani di jalan tasawuf. Maqamat dan ahwal yang dicapai dan dialami itu disampaikan melalui penggambaran secara naratif simbolik menggunakan bahasa figurative (majaz) sastra.
Tentu saja terdapat karya yang lebih menekankan pada uraian yang bersifat intelektual dengan menggunakan bahasa diskursif ilmu, tetapi itu terbatas pada karangan yang disebut Sastra Kitab dan risalah yang menguraikan adab. Dalam karangan-karangan seperti itu diuraikan konsep-konsep ketuhanan, hubungan manusia dengan Tuhan, dan kebajikan-kebajikan ruhani yang harus dilakukan seorang ahli suluk untuk merealisasikan hubungannya dengan Tuhan. Walaupun bahasanya cenderung tidak memperhatikan estetika, namun artinya penting bagi perkembangan sastra. Di dalamnya diperkenalkan pula konsep-konsep sufi tentang estetika dan sastra, serta contoh-contoh syair tasawuf yang relevan dengan apa yang diuraikan.
Braginsky (1993; 1994:3) menyebut sastra sufi sebagai karangan mengenai perjalanan seorang ahli suluk dalam mencapai kesempurnaan ruhani. Tujuannya ialah musyahadah, penyaksian bahwa Allah itu esa tanpa sekutu dan bandingan. Di dalamnya ‘makrokosmos’ dan ‘mikrokosmos” digambarkan melalui kata-kata, khususnya berkenaan dengan tatanan wujudnya yang diberi istilah seperti `alam al-lahut, `alam al-jabarut, `alam al-malakut, dan `alam al-nasut; atau perjalanan mendaki jiwa manusia dari alam yang paling rendah (`alam al-nasut) menuju alam tertinggi (`alam al-lahut). Keempat alam itu disetarakan dengan syariat, tariqat, hakikat dan makrifat, jika tatanannya dibalik dari bawah ke atas. Karya penulis suifi Melayu lebih jauh berhubungan dengan ajaran Martabat Tujuh yang diasaskan oleh Syamsuddin al-Sumatrani pada abad ke-17 M.
Ciri khas karya bercorak tasawuf ialah kecenderungannya yang tidak semata-mata mengandalkan pada keindahan lahir, yaitu gaya dan corak pengungkapannya. Yang lebih ditekankan ialah keindahan dalaman yang berkaitan dengan kesempurnaan ruhani, sedangkan ungkapan-ungkapan estetik di dalamnya hanya sarana yang berfungsi bagi pembaca untuk naik menuju kesadaran yang lebih tinggi. Dalam puisi dan alegori, pengalaman kesufian penulisnya tidak pernah dinyatakan secara langsung, melainkan melalui ungkapan simbolik yang halus. Karena itu karya pengarang sufi itu sarat dengan penggambaran-penggambaran yang bersifat simbolik.
Dengan bahasa yang halus penuh pralambang dan menyentuh itu mereka berusaha membuka mata kalbu pembaca untuk melakukan musyahadah. Kadang puisi-puisi sufi berperan sebagai alegori tanpa alur cerita dan tamsil-tamsilnya statis. Sedangkan yang disebut hikayat merupakan alegori yang memiliki alur cerita yang jelas di mana kisah berjalan atau bergerak maju secara dinamis untuk menggambarkan tahapan-tahapan maju perjalanan seorang ahli suluk dalam ilmu tasawuf (Braginsky 1993).
Sebagai bagian dari suluk, sastra sufi menggambarkan pendakian ruhani menuju diri hakiki. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sastra sufi adalah jenis penulisan puitik yang berusaha mengungkap hakikat kebenaran dan keindahan dengan menggambarkan secara rinci sifats-ifat, tabiat dan hakikat alam jasmani yang martabatnya rendah serta hubungannya dengan kenyataan tertinggi yang dapat disaksikan dengan pengliihatan batin seseorang di kedalaman hatinya. Ini sesuai dengan perkataan al-Hujwiri (Kasyf al-Mahjub 452) bahwa “Hakikat kebenaran dan keindahan itu merupakan kediaman manusia dan tempat persahabatan dengan Tuhan serta keteguhan hatinya di alam tanzih atau trasendental”.
Setiap jenis penulisan memiliki ciri yang ditentukan oleh cara penyajian, penggunaan tamsil, dan tujuan yang berbeda-beda dalam hubungannya dengan aspek-aspek kehidupan ahli suluk dan doktrin tasawuf yang mereka anut. Berdasarkan ini maka karya-karya Melayu bercorak tasawuf dapat dikelompokkan setidak-tidaknya ke dalam delapan kelompok, seperti berikut: (1) Syair Makrifat; (2) Syair Puji-pujian Kepada Nabi Muhammad s.a.w.; (3) Ratib atau Agiografi Sufi, yaitu syair-syair atau hikayat yang tujuannya memuliakan orang suci seperti wali-ali Islam terkemuka dan pendiri tariqat sufi; (4) Alegori Sufi; (5) Risalah, yang dalam sastra Melayu dimasukkan ke dalam kategori Sastra Kitab ; (6) Karangan-karangan prosa berisi falsafah atau pandangan sufi mengenai metafisika, penciptaan alam semesta, adab, eskatologi, hermeneutika, psikologi, kemasyarakatan, dan lain-lain.
1. Syair Makrifat. Biasanya campuran lirik dan sajak didaktis, dan cenderung naratif. Yang terkenal ialah Ikat-ikatan syair Hamzah Fansuri (abad ke-16 M), seperti “Syair Burung Pingai”, “Syair Sidang Faqir”. “Syair Laut `Ulya”, “Syair Barus Mekkah”, “Syair Sidang Asyik”, “Syair Ikan Tongkol”, “Syair Thayr al-`Uryan” dan lain-lain. Murid dan pengikut ajaran tasawufnya yang menulis syair, walaupun tidak sebanyak Hamzah Fansuri, ialah Syamsudin Pasai, Abdul Jamal, Hasan Fansuri dan beberapa penyair anonim.
Di antara syair-syair anonim yang terkenal dan ditulis di Aceh pada abad ke-17 M ialah “Syair Dagang”, “Syair Perahu” (ada tiga versi berbeda gaya bahasa dan penulis), “Ikat-ikatan Bahr al-Nisa’”, “Syair Unggas Bersoal Jawab”, “Syair Takrif al-Huruf”, “Syair Perihal Kiamat”, “Syair Alif Ba Ta”, “Syair Perkataan Alif, “Syair Makrifat”, dan masih banyak lagi. Dari daftar untaian syair yang disebutkan itu terdapat juga gubahannya dalam bahasa Bugis, Aceh, Sunda, Jawa dan Madura.
Beberapa ahli tasawuf lain yang pernah menulis syair tasawuf, walaupun tidak produktif ialah Abdul Rauf al-Sinkili (“Syair Makrifat”, pada akhir abad ke-17 M), Syekh Daud al-Sumatrani (“Syair Sunur” dan “Syair Mekah Madinah”), Syekh Daud al-Fatani (“Syair Makrifat”) dan lain-lain. “Gurindam Dua Belas” karya Raja Ali Haji, walaupun cenderung berbicara etika, namun pada dasarnya dilandasi ajaran tasawuf Imam al-Ghazali.
2. Syair Pujian Kepada Nabi Muhamad s.a.w.. Walaupun tema tentang Nur Muhammad dan pujian kepada beliau terdapat dalam syair-syair makrifat, juga terdapat jenis khusus sastra yang dimaksudkan sebagai puji-pujian kepada Rasululllah. Dalam sastra Arab disebut al-mada`ih al-nabawiyah dan dalam sastra Persia disebut na`tiya, dari perkataan na`at yang berarti pujian. Syair jenis ini terutama diilhami oleh Qasida al-Burdah, Syaraf al-Anam dan Qasida al-Barzanji. Di antaranya yang terkenal dalam masyarakat Melayu tradisional ialah Syair Rampai Maulid, Syair Maulid Jawi, Nazam Dua Puluh Lima Rasul, yang didahului dengan puji-pujian kepada nabi-nabi sebelum Nabi Muhammad s. a.w.
Syair-syair jenis ini biasanya dinyanyikan bersama dalam perayaan Maulid Nabi. Menurut sejarawan Muslim abad ke-15 M dari Malabar, Zainuddin al-Ma`bari dalam kitabnya Tuhfat al-Mujahidin, dakwah Islam di India dan Nusantara mendapat sambutan penduduk antara lain karena pengaruh pembacaan syair pujian kepada Nabi Muhammad s.a.w. yang disajikan dengan cara yang menarik perhatian.
Dimasukkan ke dalam karya bercorak tasawuf, karena karya seperti ini memang ditulis oleh para sufi dengan nafas dan simbol-simbol sufistik yang kental. Misalnya perumpamaan terhadap Nabi Muhammad s.a.w. sebagai matahari yang menerangi dunia, bulan purnama, kekasih Tuhan, teladan bagi sekalian ahli makrifat, dan lain sebagainya.
3. Ratib atau Agiografi Sufi. Ada yang ditulis dalam bentuk prosa berirama dan ada yang ditulis dalam bentuk prosa. Dalam bentuk prosa dinamai hikayat. Dalam bentuk prosa berirama, yang terkenal di antaranya ialah Ratib Syekh Saman, Ratib Syekh Abdul Qadir Jailani, Ratib Syekh Hamzah Fansuri, Ratib Syekh Naqsabandi, dan lain-lain. Sedangkan yang dalam bentuk prosa ialah Hikayat Luqman al-Hakim, Hikayat Rabi`ah al-Adawiyah, Hikayat Abu Yazid al-Bhistami, HikayatShamsi Tabriz, Hikayat Mansur al-Hallaj, Hikaya Syekh Abdul Kadir al-Jailani, Hikayat Sultan Ibrahim bin Adham, Hikayat Jumjunah, Hikayat Abu Syamah, dan lain-lain. Meskipun ratib-ratib yang berkaitan dengan kemuliaan para pendiri tariqat sufi terlalu mengeramatkan tokoh yang dikeramatkan seperti Syekh Muhammad Saman dan Syekh Abdul Qadir Jailani, namun dalam aspeknya yang lain cukup memberikan manfaat. Terutama bagian-bagian awal yang berisi al-mada`ih al-nabawiyah.
4. Alegori sufi atau kisah perumpamaan sufi. Para penulis sufi sering menggubah cerita-cerita yang tergolong dalam roman atau pelipur lara menjadi alegori sufi, terutama untuk melukiskan tahapan-tahapan naik perjalanan ruhani mereka secara simbolik. Model serupa dilakukan oleh penulis-penulis Arab dan Persia. Nizami al-Ganjawi, penulis Persia, menggubah hikayat Iskandar Zulkarnain (dalam Iskandar-nama) dan Layla Majenun menjadi alegori sufi. Demikian juga Jami, penulis Persia abad ke-1`5 M, yang menggubah Salaman dan Absal, Yusuf dan Zulaikha dan lain-lain. Dalam sastra Melayu hikayat yang digubah menjadi alegori sufi antara lain ialah Hikayat Inderaputra, Hikayat Syah Mardan, Hikayat Isma Yatim, Hikayat Badr al-`Asyiq, Taj al-Muluk dan lain-lain.
5. Risalah Tasawuf yang lazim dimasukkan ke dalam kelompok Sastra Kitab. Tidak sedikit sufi terkemuka menulis risalah tasawuf untuk menerangkan pemikiran atau aliran tasawuf mereka, begitu pula metode dan praktiknya. Tidak sedikit karangan jenis ini menggunakan bahasa sastra dan disisipi ulasan tentang puisi dan pepatah-pepatah sufi yang terkenal. Beberapa sufi yang sangat masyhur sebagai penulis risalah ialah Hamzah Fansuri (Syarab al-`Asyiqin, Asrar al`Arifin dan al-Muntahi); Syamsudin Pasai (Mir`at al-Mu`minin, Mir`at al-Iman, Zikarat al-Dairati Qaba Qawsaini aw `Adna, Mir`at al-Muhaqqiqin dan lain-lain); Nuruddin al-Raniri (Ma` al-Hayat, Hill al-Zill, Tybian fi Ma`rifa al-adyan, Sifat al-Qulub, Hujjat al-Siddiq, Jawhar al-`Ulum dan lain-lain); Abdul Rauf al-Singkili (Daqa`iq al-Huruf, Umdat al-Muhtajin ila al-Suluk Maslak al-Mufridin dan lain-lain); Yusuf al-Makassari (al-Naftahu al-Sailaniya, Zubdah al-Asrar, Qurat al-`Ayn, Syurut al-`Arifin al-Muhaqqiq, dan lain-lain); Syihabuddin Abdullah al-Falimbangi (Kitab `Aqidah al-Bayan), Kiemas Fakhrudin al-Falimbangi (Khawas al-Qur`an al-`azim), Abdul Samad al-Falimbangi (Zuhrah al-Murid, Hidayah al-Salikin, Rawatib); Muhammad al-Muhyiddin (Hikayat Muhammad Saman), kemas Muhammad Ahmad (Nafahat al-Rahman fi Manaqib Ustadhina al-A`zam al-Samman, Bahr al-`Ajaib), Daud al-Pontiani (Taj al-Arus), dan lain-lain
6. Karangan-karangan prosa berisi aneka corak pandangan sufi mengenai berbagai persoalan seperti metafisika, penciptaan alam semesta, sejarah, adab, eskatologi, hermeneutika, psikologi, dan lain-lain. Termasuk di dalamnya ialah Hikayat Kejadian Nur Muhammad, Kitab Seribu Masalah, Syarah Ruba`i Hamzah Fansuri (Syamsuddin al-Sumatrani), Taj al-Salatin (Bukhari al-Jauhari), Bustan al-Salatin (Nuruddin al-Raniri), Risalah Turunnya Imam Mahdi (Arsyad al-Banjari), dan lain-lain. Beberapa karya bercorak sejarah seperti Tuhfat al-Nafis karangan Raja Ali Haji dari Riau juga dapat dimasukkan ke dalam kategori ini. Di dalamnya dipaparkan sejarah Melayu Riau-Johor pada abad ke-18-19 M dengan menggunakan sudut pandang tasawuf, khususnya sudut pandang Imam al-Ghazali dari kitab Ihya` `Ulum al-Din.
Dari ragam-ragam penulisan ini akan dijelaskan dua di antaranya yang khususnya sangat penting dalam kajian sastra, terutama jika yang dimaksudkan ialah karya-karya yang bersifat puitik, naratif dan imaginatif. Sebagai karya sastra, kedua jenis ini memiliki struktur lahir dan struktur batin yang kompleks dan rumit, serta paling mencerminkan wawasan sufi tentang estetika.
Syair Makrifat
Dalam teks-teks Melayu karya jenis ini disebut juga sebagai Syair Ilmu Suluk dan Tauhid, seperti misalnya kita jumpai MS Jak. Mal. 83 yang memberi judul pada syair-syair Hamzah Fansuri dan murid-muridnya sebagai Sya`ir Jawi Fashal fi Bayan `Ilm al-Sulukwa al-Tawhid. Hasan Fansuri, salah seorang murid sang sufi menyebutnya sebagai ruba` al-muhaqqiqin, sajak-sajak empat baris pada masing-masing baitnya yang menyatakan jalan para ahli haqiqat (Abdul Hadi W. M. 2001:207). Sufi Arab terkemuka, Ali Safi Husayn menyebutnya sebagai Syi`r al-Kasyf wa al-Ilham, artinya puisi yang dituliskan berdasarkan ilham dan kasyf setelah penulisnya menjalani praktik suluk (Schimmel 1982:36).
Menurut Ali Safi Husayn, puisi-puisi jenis ini biasanya membicarakan masalah cinta ilahi (`isyq) dengan menggunakan tamsil-tamsil seperti hubungan kekasih dengan pencintanya (mahbub dan `asyiq), anggur dan kemabukan mistikal, rasa yang dalam (dzawq), ketelanjangan hati (`uryan), kefanaan dalam Wujud Kekal (fana`), kefakiran (faqr), dan tentu saja tentang makrifat, tauhid dan musyahadah. Ada pun isi dan kandungannya biasanya diilhami oleh teori sufi tentang Nur Muhammad atau al-haqiqah al-muhammadiyah, sebutan simbolik terhadap esensi penciptaan. Misalnya seperti tampak dalam bait karangan Hamzah Fansuri seperti berikut:
Nurani itu terlalu zhahir
Bernama Ahmad dari cahaya yang satir
Pancarnya `alam keduanya hadir
Inilah ma`na awwal dan akhir
Dalam sejarah sastra Melayu, teks Syair Makrifat yang awal dinisbahkan kepada penyair-penyair Sumatra abad ke-16 M sebagai pengarangnya, khususnya tokohnya yang masyhur Hamzah Fansuri. Sufi Melayu dari Barus yang sangat terkenal ini dianggap sebagai pencipta pertama syair Melayu, yaitu sajak empat baris dengan pola rima akhir AAAA. Jumlah sukukatan dari setiap barisnya tidak tetap, tetapi diusahakan seringkas mungkin. Dalam syair-syairnya itu Hamzah Fansuri menggambarkan pengalaman kesufiannya dengan sepenuhnya berpegang pada estetika sufi. Pengalaman kesufiannya itu dikemas dengan tamsil-tamsil yang merujuk pada konsep-konsep sufi tentang metafisika, kosmologi dan psikologi, serta konsep-konsep sufi tentang tahap-tahap perjalanan keruhanian (maqamat) dan keadaan-keadaan ruhani (ahwal) yang dialami sendiri oleh sang penyair setelah mengamalkan ilmu suluk.
Jika dihubungkan dengan metafisika sufi, maka akan tampak yang ditekankan dalam syair-syair itu ialah pandangan tentang adanya dua realitas atau hakikat berbeda dalam kehidupan. Yaitu realitas Tuhan dan selain Tuhan.Yang pertama adalah wujud mutlak, transenden, keberadaan-Nya tidak tergantung pada yang lain, maha tunggal, kekal, maha hidup, tanpa awal tanpa akhir. Sifat transenden (tanzih)-Nya tidak menghalangi imanensi-(tasybih)-Nya. Wujud yang lain bersifat nisbi dan sementara, dan keberadaannya tergantung pada Yang Mutlak.
Dihubungkan dengan tatanan alam wujud atau ontologi sufi, yang diungkapkan ialah tatanan alam yang ditempati oleh masing-masing keberadaan mengikuti hirarki dari yang tertinggi ke tingkatan alam yang lebih rendah, yaitu Alam Lahut, Alam Jabarut, Alam Malakut, dan Alam Nasut. Jiwa manusia yang melaksakan kebajikan ruhani dilukiskan naik setahap demi setahap dari Alam Nasut, melalui Alam Malakut dan Alam Jabarut, menuju Alam Lahut. Alam Jabarut dapat disamakan dengan alam hakikat, yang dengan mencapainya seseorang akan memperoleh makrifat, pemandangan yang luas dan mendalam tentang lautan keesaan Tuhan.
Sering perjalanan dari alam rendah ke alam realitas tertinggi itu diumpamakan sebagai perjalanan mendaki puncak gunung, penerbangan ke tempat yang tinggi, juga penyelaman ke lubuk terdalam lautan, atau pelayaran jauh menuju Bandar Tauhid. Untuk itu digunakan tamsil-tamsil kosmologis seperti gunung, ombak, lautan, perahu, burung, dan lain sebagainya.
Dalam hubungannya dengan psikologi sufi, yang diungkap ialah keadaan-keadaan ruhani (ahwal) yang dialami seorang ahli suluk dalam perjalanan keruhaniannya. Di antara keadaaan-keadaan ruhani yang penting ialah ekstase mistis (wajd), luluhnya diri jasmani dalam wujud hakiki (fana’), kerinduan yang mendalam (syawq), rasa yang dalam (dzawq), cinta (`isyq), dan lain-lain. Dalam syair Hamzah Fansuri dan beberapa muridnya, untuk memperlihatkan kepengarangan individual dari karyanya, penyair sering membubuhkan nama kecil dan takhallus dalam bait-bait penutup syairnya. Takhallus biasanya menunjuk kepada tempat seorang penyair dilahirkan dan dibesarkan, seperti yang dikenakan oleh Hamzah Fansuri yang bermakna Hamzah dari Barus atau Fansur. Tidak jarang penyair juga menggunakan penanda kesufian seperti faqir, anak dagang, dagang, dan lain-lainnya.
Pemakaian takhallus pada bait penutup punya tujuan sendiri. Dalam bait akhir untaian atau ikat-ikatan syairnya biasanya penyair menyimpulkan bentuk pengalaman sufi yang diperolehnya, misalnya fana, baqa’ dan faqr. Contohnya ialah bait-bait penutup (maqta) dalam beberapa ikat-ikatan syair Hamzah Fansuri, seperti berikut:
Hamzah miskin orang.`uryani
Seperti Ismail jadi qurbani
Bukan Arabi lagi Ajami
Senantiasa wasil dengan Yang Baqi
Hamzah Fansuri di negeri Melayu
Tempatnya kapur di dalam kayu
Asalnya manikam tiada ‘kan layu
Dengan ilmu dunia manakan payu
Hamzah Fansuri di dalam Mekkah
Mencari Tuhan di Bait al-Ka`bah
Di Barus ke Quds terlalu payah
Akhirnya jumpa di dalam rumah
Hamzah Syahr Nawi terlalu hapus
Seperti kayu sekalian hangus
Asalnya laut tiada berarus
Menjadi kapur di dalam barus
(Abdul Hadi W. M. 2001:401-2)
Dalam kutipan 1 penyair mengemukakan hasil pencapaiannya di jalan cinta dan makrifat, yaitu kefakiran diri (faqr), dengan menggunakan simbol-simbol sejarah. Faqir sejati seperti Nabi Ismail a.s. siap mengurbankan diri (nafs, kepentingan diri) demi tujuan hidup spiritual yang lebih tinggi. Seorang faqir tidak lagi terpaut pada identitas lahir, tetapi pada identitas ruhani, yaitu kedekatan dan persatuan dengan Yang Abadi (Baqi). Dalam kutipan 2 dia menggunakan simbol kosmologis seperti kapur, kayu dan manikam untuk menggambarkan bahwa dia telah memperoleh pengetahuan hakikat. Kapur adalah hakikat kayu barus. Da juga mengemukakan bahwa secara ruhani diri manusia merupakan mutiara ciptaan (manikam) yang berasal dari lautan wujud ketuhanan. Pemakaian simbol kayu dan kapur atau barus, diulangi dalam kutipan 4. Di sini dia menceritakan pengalaman fana’ yang diperolehnya, yang diumpamakan sebagai ‘kayu yang hangus’ dan luluh seperti ‘kapur di dalam barus’.
Pada kutipan 4, dia menggunakan simbol Mekkah (pusat jagat raya), Ka’bah (kalbu seorang yang imannya sudah teguh dan mantap), Barus (tempat penyair memulai perjalanan ruhani, yaitu dari dunia lahir), Quds (Yerusalem, tempat Nabi melakukan perjalanan malam atau israk, sebelum mikraj, lambang pencapaian ruhani yang tinggi) dan rumah (simbol kalbu manusia yang mengenal hakikat dirinya).
Tuhan, sebagai Wujud Tertinggi, dalam al-Qur’an disebut “Yang Zhahir dan Yang Batin”, dengan demikian Dia transenden, tetapi sifat transenden-Nya tidak menghalangi kehadiran-Nya di dalam dunia ciptaan. Kehadiran-Nya itu adalah penampakan-Nya secara gaib melalui sifat-sifat dan tindakan-tindakan-Nya yang kreatif. Para penganut tasawuf wujudiyah mengartikan Wujud sebagai sesuatu yang keberadaannya nyata melalui hal-hal tertentu, bukan semata-mata melalui rupa atau bentuk. Apabila perkataan wujud dikenakan pada Tuhan, maka yang dimaksud ialah sifat-sifat dan tindakan-tindakan-Nya yang kreatif itu.
Menurut paham wujudiyah, pengertian wujud Tuhan terkandung dalam kalimah Bism Allah al-rahman al-rahim. Dalam kalimah tersebut Allah disebut sebagai al-rahman dan al-rahim. Itulah wujud-Nya, yaitu sifat-sifat-Nya yang dikenal melalui dunia ciptaan-Nya yang tidak terhingga dan menakjubkan. Menurut Ibn `Arabi, kedua kata tersebut berasal dari kata al-rahma (rahmat), yang salah satu artinya ialah Cinta. ‘Rahman’ (pengasih) adalah cinta yang bersifat esensial, yang dianugerahkan kepada apa saja dan siapa saja. Tetapi ‘rahim’ (penyayang) cinta yang wajib diberikan kepada orang yang beriman, bertaqwa dan beramal saleh (Abdul Hadi W. M. 2002:57).
Inilah yang dinyatakan Hamzah Fansuri dalam bait-bait syairnya (Ikat-ikatan II Leiden Cod. Or. 2026) seperti berikut:
Tuhan kita yang bernama qadim
Pada sekalian makhluq terlalu karim
Tandanya qadir lagi hakim
Menjadikan alam dari al-rahman dan al-rahim
Rahman itulah yang bernama sifat
Tiada bercerai dengan kunhi Dzat
Di sana perhimpunan sekalian ibarat
Itulah hakikat bernama maklumat
Rahman itulah yang bernama Wujud
Keadaan Tuhan yang sedia ma’bud
Kenyataan Islam, Nasrani dan Yahud
Dari rahman itulah sekalian maujud
Dalam bait tersebut dikemukakan pengertian konsep wahdat al-wujud (kesatuan transenden wujud) sebagaimana dimaksud sufi yang menganut paham wujudiyah. Dalam konsep tersebut diterangkan bahwa Wujud atau Sifat Tuhan merupakan asas keberadaan segala sesuatu dan hanya pada Wujud-Nya segala sesuatu menggantungkan keberadaan-Nya.
Seorang penyair anonim, dalam “Syair Perahu” (MS Leiden Cod. Or. 3374) sebagai berikut:
Hu Allah Tuhan Yang Esa
Taat ibadah itu jalan cinta
Allah dan Rasul tempat mencinta
Di rantau langit mendapat sentosa
Hu Allah (hanya) Tuhan yang ada
Mengenal diri janganlah lupa
Qa’im da’im senantiasa
Di padang Masyar beroleh laba
(Braginsky 1993:200)
Karena jalan tasawuf adalah jalan cinta, tamsil-tamsil percintaan sering digunakan untuk melukiskan hubungan jiwa seorang pencinta dengan Sang Kekasih (Mahbub) yang tunggal di alam kebenaran tertinggi. Misalnya seperti tampak dalam syair Hamzah Fansuri seperti berikut:
Subhan Allah terlalu kamil
Menjadikan insan alim dan jahil
Dengan hamba-Nya da’im Ia wasil
Itulah Mahbub yang bernama adil
Mahbubmu itu tiada berlawan
Lagi alim ia lagi bangsawan
Kasihnya banyak lagi gunawan
Olehnya itu beta tertawan
Bersunting bunga lagi bermalai
Kainnya warna berbagai-bagai
Tahu bersembunyi di dalam sakai (hamba)
Olehnya itu orang terlalai
Ingat-ingat kau lalu lalang
Berlekas-lekas jangan kau mamang
Suluh Muhammad yogya kaupasang
Supaya salim jalanmu datang
Rumahnya ali (tinggi) berpatam birai
Lakunya bijak sempurna bisai
Tudungnya halus terlalu pingai
Da’im bersembunyi di balik tirai
Jika sungguh engkau asyiq dan mabuk
Memakai kandhi pergi menjaluk
Ke dalam pagar yogya kaumasuk
Barang ghayr Allah (selain Tuhan) yogya kauamuk
(Ibid 2001:353)
Alegori Sufi dan Estetikanya
Sudah sejak awal sastrawan-sastrawan sufi, khususnya di Persia, gemar mentransformasikan tamsil-tamsil percintaan yang terdapat dalam sastra Arab menjadi tamsil-tamsil kesufian. Kisah-kisah percintaan Arab dan Persia seperti Layla wa Majenun, Khusraw wa Shirin, Yusuf wa Zulaikha, Salman wa Absal, dan lain-lain digubah kembali oleh penyair Persia seperti Nizami, Jami, dan lain-lain menjadi alegori sufi atau kisah-kisah percintaan mistikal. Dalam sastra Melayu, roman-roman yang digubah menjadi alegori sufi di antaranya ialah Hikayat Syah Mardan, Hikayat Indra Putra, Ken Tambuhan, Hikayat Isma Yatim, dan lain-lain.
Menurut Braginsky (1994) Hikayat Syah Mardan mengandung beberapa rujukan tasawuf, khususnya paham Martabat Tujuh dari Syamsudin Pasai dan Syekh Muhammad Fadlullah al-Burhanpuri. Juga digunakan tamsil-tamsil seperti burung untuk jiwa, jin sebagai makhluq gaib yang menjadi lawan atau kawan seorang ahli tasawuf, pendakian ke puncak gunung disertai penyucian diri di telaga, yang melambangkan pencapaian makrifat.
Dalam Hikayat Isma Yatim dan Ken Tambuhan, tidak sedikit dijumpai bait-bait syair yang mengemukakan perlunya seseorang mempelajari ilmu makrifat dan hakikat diri. Selain itu hikayat-hikayat ini diresapi oleh estetika sufi dan puitika yang disarankan para sufi. Misalnya motif penceritaanm tokoh-tokohnya. Kelahiran seorang tokoh dalam hikayat Melayu selalu disertai gambaran tentang peristiwa alam serba dahsyat sebagai tanda campur tangan kekuatan supernatural dalam kehidupan manusia. Misalnya dalam Hikayat Malim Deman, dilukiskan sebagai berikut:
Hari Ahad berjumpa Senin
Dua belas hari bulan
Dua belas tapak bayang-bayang
Menderau-derau hujan panas
Sabung menyabung kilat
Panah memanah halilintar
Berbunyi sekalian bunyi-bunyian
Maka permaisuri pun
Melahirkan seorang putra
(Zalila Sharif 1993:85)
Pemaparan keindahan mengikuti pola estetika sufi juga terlihat dalam Hikayat Indraputra seperti dalam petikan berikut:
Syahdan di atas bunga itu ada seekor paksi terlalu indah-indah rupanya itu, dan di bawah pohon kayu itu adalah seekor burung terlalu elok rupanya dan terlalu indah bunyinya dan lagi ada seekor paksi itu berserdam di atas hamparan terlalu ajaib sekali rupanya. Maka ia pun hinggap kepada bejana dan terperciklah narwastu itu kepada tubuh Indraputra terlalu harum baunya. Maka Indraputra pun heran melihat yang indah-indah itu. Suahdan muka Indraputra memandang, kemudian tidurlah ia dengan berahinya mendengar bunyi-bunyian itu.
(Braginsky 1993:29-30)
Lukisan seperti itu mengingatkan pada syair-syair Hamzah Fansuri yang menggunakan tamsil burung. Juga dapat dibandingkan dengan lukisan dalam Hikayat Kejadian Nur Muhammad. Dalam HKM dilukiskan betapa setelah dicipta dalam bentuk mutiara berkilau-kilauan, Nur Muhammad yang merupakan tamsil bagi ruh manusia, mengalami transformasi menjadi seekor burung (lambang jiwa manusia) yang hinggap pada pohon hayat (sajarah al-hayat). Perkataan seperti ‘indah-indah rupanya’, ‘elok’, ‘heran’, ‘takjub’, ‘tidur dengan berahi’ dan lain-lain – yang semuanya berkaitan dengan pengaruh dari sebuah penglihatan indah kepada jiwa manusia, merujuk pada konsep estetika sufi tentang kemiripan pengalaman mistis dan pengalaman estetik. Kecenderungan serupa juga ditemui dalam puisi-puisi Amir Hamzah, raja penyair Pujangga Baru.
Estetika sufi berkaitan dengan ajaran tentang metafisika dan psikologi yang dikemukakan para ahli tasawuf. Hal ini dinyatakan dengan jelas dalam salah satu versi Syair Perahu, yang ditulis pada abad ke-17 M oleh seorang pengikut Hamzah Fansur. Petikannya sebagai berikut:
Inilah gerangan suatu madah
Mengarangkan syair terlalu indah
Membetuli jalan tempat berpindah
Di sanalah i`tqad diperbuli sudah
Wahai muda kenali dirimu
Ialah perahu tamsil tubuhmu
Tiada berapa lama hidupmu
Ke akhirat jua kekal diammu
Hai muda arif budiman
Hasilkan kemudi dengan pedoman
Alat perauhumu jua kerjakan
Itulah jalan membetuli insan
Perteguh jua alat perahumu
Hasilkan bekal air dan kayu
Dayung pengayuh taruh di situ
Supaya laju perahumu itu
Lengkapkan pendarat tali dan sauh
Derammu banyak bertemu musuh
Selebu rencam ombak pun cabuh
La ilaha illa Allah akan tali yang teguh
…
La ilaha illa Allah tempat mengintai
Medan yang qadim tempat berdamai
Wujud Allah terlalu bitai
Siang malam jangan bercerai
(Doorenbos 1933:35)
Dari kutipan tersebut dapat dikemukakan beberapa hal. Pertama, puisi bagi penyair tasawuf merupakan ‘jalan tempat berpindah’ ke alam abadi atau sarana transendensi, kenaikan ke alam ruhani. Penyair sufi menyebutnya sebagai tajarrud, pembebasan dari kungkungan dunia material. Kedua, puisi yang indah ditulis setelah penyair menyucikan diri atau membetulkan i`tiqad dan aqidah, dengan demikian penglihatan batinnya menjadi terang. Ketiga, keindahan wajah transenden Tuhan dan hakikat tauhid hanya bisa disaksikan ‘di medan yang qadim’, yaitu di alam ruhani. Dalam diri manusia juga terdapat alam ruhani, yang berada jauh di lubuk kalbunya. Keempat, penyair mengatakan bahwa tugas puisi ialah membawa pembaca untuk mengenal dirinya, yaitu diri ruhaninya, bukan semata-mata diri jasmaninya.
Alegori sufi lain yang terkenal dan memberi ilham bagi penulisan syair-syair sufi dan motif seni hias Islam yang simbolik ialah Hikayat Burung Pingai. Hikayat ini baru belakangan saja diungkap. Walaupun termasuk karya becorak tasawuf, namun karena corak Parsinya sangat kental ia dibicarakan dalam hubungannya dengan karya-karya Melayu bercorak Parsi. Braginsky (1993:40) menemukan versi hikayat ini dalam naskah Leiden Cod. Or. 3341 yang telah disalin oleh van Ronkel pada tahun 1922, namun hampir tidak ada peneliti memberi perhatian terhadap hikayat ini. Kentalnya corak Parsi pada hikayat ini, karena ia diubahsuai langsung dari Mantiq al-Tayr (Musyawarah Burung) karya Fariduddin al-`Attar.
Mantiq al-Tayr merupakan alegori sufi yang masyhur di Timur maupun di Barat. Dikisahkan bahwa masyarakat burung dari seluruh dunia berkumpul untuk membicarakan kerajaan mereka yang kacau sebab tidak memiliki pemimpin lagi. Burung Hudhud tampil ke depan bahwa raja sekalian burung sekarang ini berada di puncak gunung Kaf, namanya Simurgh. Simurgh adalah burung maharaja yang berkilauan-kilauan bulunya dan sangat indah. Jika kerajaan burung ingin kembali pulih, mereka harus bersama-sama pergi mencari Simurgh. Penerbangan menuju puncak gunung Qaf sangat sukar dan berbahaya. Tujuh lembah atau wadi harus dilalui, yaitu: (1) Lembah Talab (pencarian); (2) Lembah `Isyq atau Cinta; (3) Lembah Makrifat; (4) Lembah Istighna atau kepuasan; (5) Lembah Tauhid; (6) Lembah Hayrat atau ketakjuban; (7) Lembah fana’, baqa’ dan faqir. Pada mulanya burung-burung enggan melakukan perjalanan jauh yang sangat sukar dan berbahaya itu. Tiap-tiap burung mengemukakan alasan yang berbeda-beda. Hudhud tidak putus asa. Dia meyakinkan bahwa penerbangan itu perlu dilakukan. Setelah penerbangan dilakukan hanya tiga puluh ekor burung sampai di tujuan. Dalam bahasa Parsi tiga puluh artinya Si-murgh. Demikianlah ketiga puluh ekor burung itu heran, sebab yang dijumpai tidak adalah hakikat diri mereka sendiri (Jawad Shakur 1972).
Dalam tradisi sastra sufi, burung adalah tamsil atau lambang ruh manusia yang senantiasa gelisah karena terpisah dari asal-usul keruhaniannya dan sangat merindukannya. Si-murgh bukan saja lambang hakikat diri manusia, tetapi juga hakikat ketuhanan – yang walaupun kelihatannya jauh, namun lebih dekat dari urat leher manusia sendiri. Braginsky menemukan bahwa Hikayat Burung Pingai dalam sastra Melayu ditransformasikan atau diubahsuai langsung dari Mantiq al-Thayr. Simurgh diganti dengan nama Burung Sultani, namun gambaran tentangnya mirip dengan penggambaran `Attar tentang Simurgh. Karya `Attar itu juga mengilhami Hamzah Fansuri seperti ”Syair Thayr al-`Uryan Unggas Sulthani”. Dalam al-Muntahi Syekh Hamzah Fansuri mengutip bait puisi `Aththar :
Baz ba’di dar tamasha-tarab
Tan faru daland farigh as talab
(Braginsky 1993:136)
Terjemahannya lebih kurang: ”Ada yang hanya bertamasya dan bersukaria; Begitu bersemangat mereka hingga berhenti (yakni, tidak lagi mencari Simurgh, pen.).
Deskripsi dalam Hikayat Burung Pingai ialah sebagai berikut: ”Nabi Sulaiman, raja binatang dan jin, memanggil semua burung. Burung pertama yang muncul ialah Nuri, Khatib Agung di kalangan burung-burung. Disusul Kasuari, Elang, Kelelawar, Pelatuk, Tekukur, Merak, Gagak dan lain-lain. Di depan mereka Nabi Sulaiman bertanya kepada burung Nuri, jalan apa yang harus ditempuh untuk mencapai rahasia dan hakikat kehidupan? Nuri menjwab, melalui jalan tasawuf, yang tahapan-tahapannya berjumlah tujuh. Nuri lantas memperlihatkan kearifannya dengan menceritakan bahwa seorang kawannya mengeluh tidak dapat mengenal Tuhan disebabkan buta dan tuli.
Tetapi jalan tasawuf bukan jalan inderawi, jadi tidak tergantung apakah orang itu tuli dan buta secara jasmani. Kemudian Nuri menjelaskan bahwa jalan tasawuf selain sukar juga berbahaya. Di laut kehidupan tidak mudah mendapat petunjuk. Burung-burung yang mendengar keberatan menempuh jalan tasawuf. Masing-masing mengemukakan alasan berbeda. Tetapi setelah duraikan pentingnya perjalanan itu, pada akhirnya burung-burung bersedia mengikuti petunjuk burung Nuri melakukan pengembaraan menuju Negeri Kesempurnaan. Penulis menutup alegorinya dengan mengutip Hadis qudsi, ’Barang siapa mengenal dirinya, akan mengenal Tuhannya’. Setelah tujuan dicapai burung-burung yang berhasil menempuh perjalanan itu, semuanya takjub, heran dan memuji kearifan burung Nuri” (Braginsky 1993:141).
Demikian tokoh burung Hudhud diganti burung Nuri. Kata nur dalam bahasa Arab berarti cahaya, jadi Burung Nuri yang dimaksud identik dengan Burung Pingai, sebab arti pingai juga indah berkilau-kilauan. Sebagai ganti ketidak hadiran Hudhud dalam versi Melayu, ditampilkan Nabi Sulaiman. Dalam al-Qur’an 27:20-28 (Surah al-Naml), disebutkan burung Hudhud merupakan burung kesayangan Nabi Sulaiman a.s.
Kepopuleran hikayat ini mungkin masih membua peluang untuk diperdebatkan, tetapi tidak dapat disangkal pengaruh buku ini, khususnya penggunaan simbol Burung Pingai atau Simurgh, dalam kesusastraan Melayu dan seni rupa Islam di Nusantara. Seni ukir dan seni batik di Sumatra, Jawa, dan Madura tidak sedikit yang menampilkan motif hias burung yang disebut Burung Pingai itu.
Penutup
Pemaparan yang telah disajikan dalam karangan ini menunjukkan bahwa sebagaimana kesusastraan Melayu itu sendiri, karya-karya bercorak tasawuf di dalam khazanahnya masih merupakan wilayah luas bagi penelitian berbagai bidang ilmu seperti filologi, bahasa, sastra, ilmu-ilmu agama, sejarah intelektual, dan falsafah yang merangkumi metafisika, etika, estetika, dan hermeneutika. Ini disebabkan karena banyak naskah yang memuat teks-teks karangan bercorak tasawuf belum diteliti dan dikaji, sebagaimana juga isi karangan dan corak pemikiran keagamaan yang melatari penulisannya.
Namun kita boleh bergembira karena belakangan ini telah timbul minat untuk meneliti karya-karya jenis ini di kalangan sarjana sastra dan ilmu agama, khususnya di Indonesia dan Malaysia. Tim Refleksi Sastra Nusantara yang dibentuk Pusat Bahasa juga telah bekerja dan menerbitkan hasil penelitiannya berjudul Adab dan Adat: Refleksi Sastra Nusantara (2003). Di dalamnya beberapa karya penulis Melayu dan Jawa yang bercorak tasawuf juga dibahas.
Jakarta 25 Desember 2006
Daftar Pustaka
Abdul Hadi W. M. (2002). Tasawuf Yang Tertindas: Kajian Hermeneutik Terhadap Karya-karya Hamzah Fansuri. Jakarta: Paramadina.
Ali Utsman al-Hujwiri (1982). The Kashf al-Mahjub: The Oldest Persian Treatise on Sufism.. Translated by R. A. Nicholson. New Delhi: Taj Company.
al-Attas, Syed M. Naquib (1970). The Mysticism of Hamzah Fansuri. Kuala Lumpur: Universiti Malaya Press.
Brginsky, V. I. (1993). Tasawuf dan Sastra Melayu: Kajian dan Tek-teks. Jakarta: RUL (Rijkuniversiteit Leiden).
—————– (1994). Nada-nada Islam Dalam Sastera Melayu. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Drewes G. W. J. (1969). The Admonitions of Seh Bari.. The Hague: BKI – Martinus Nijhoff.
Mir Valiuddin (1977). The Qur’anic Sufism. Delhi-Varanasi-Patna: Motilal Banarsidass.
—————– (1980). Contemplative Disciplines in Sufism. London – The Haguie: East-West Publications.
Mohd. Shaghir Abdullah (1991). Khazanah Karya Pusaka Asia Tenggara. Kuala Lumpur: Khazanah Fathaniyah.
Nasr, Seyyed Hossein (1980). Living Sufism. London-Boston-Sidney: George Allen & Unwin Ltd.
————————– (1981). Knowledge and the Sacred. New York: The Crossroad Publishing Company.
Nicholson, R. A. (1979). The Mystics of Islam. Lahore: Islamic Book Services.
Schimmel, Annemarie (1980) The Triumphal Sun: A Study of the Works of Jalaluddin Rumi. London and The Hague: East-West Publications.
————————— (1981). Mystical Dimensions of Islam. Chapel Hill: The University of North Caroline Press.
Teeuw, A. (1994). “Hamzah Fansuri Sang Pemula Puisi Indonesia”. Dalam Antara Kelisanan dan Keberaksaraan. Jakarta: Pustaka Jaya.
Zalila Sharif & Jamilah Haji Ahmad (1993). Kesusastraan Melayu Tradisional. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Post a Comment Disqus Facebook