Rumi Sufi

0

Ada matahari dalam diri kita. Dan, matahari itu begitu terik menyengat sehingga sengatannya meski sekejap sanggup menghanguskan kita hingga menjadi abu. Ada pula matahari-matahari, yang berjalan dalam bentuk manusia. Jika kita membuka mata hati kita, kita dapat melihat mereka. Melihat jejak-jejak kaki mereka yang berasap, yang meninggalkan aroma dupa dari hati mereka yang terbakar. Namun, orang yang seperti itu jarang; dan lebih jarang lagi yang bisa melihat mereka. Sedikit yang punya mata yang bisa melihat orang seperti Syams Tabriz, Matahari dari Tabriz.

Kita ini tertutup; kebanyakan dari kita bagaikan hari-hari mendung, sinar cahaya kita dikaburkan oleh awan-awan hujan. Kita tinggal di kampung yang dingin dan gelap; yang mataharinya redup, yang hasil panenannya berupa wajah-wajah yang pucat. Dapatkah kita percaya bahwa matahari akan menjadi hangat bila kita harus memulai sesuatu yang berbahaya dan sulit setiap pagi? Di malam yang gelap-gulita, ketika belahan rembulan hanya memancarkan cahaya sekadar untuk menunjukkan pekatnya kegelapan yang mengitarinya-dapatkah kita percaya bahwa ada dunia warna? Lihatlah diri kita-kita tampak begitu dingin dan buta. Matahari tersembunyi di dalam diri kita; kita adalah batu koral yang tak berharga dan berlumuran lumpur. Pantulkan cahaya matahari pada batu granit, demikian kata mereka, dan batu delima pun akan muncul. Demikian pula manusia dapat diubah oleh cahaya matahari batin. Dengarlah hikayat transformasi itu lewat riwayat Rumi:

-000-

Jalal al-Din Muhammad al-Rumi adalah anak yang terberkati, yang lahir dalam ayunan yang digerakkan oleh dua kekuatan: Kekuatan Allah dan kekuatan manusia. Di satu sisi di dalam ayunan itu terdapat tangan ayah dan kakeknya: Baha Walad dan Husein ibn Ahmad Khatibi, para hamba Allah yang suci. Di sisi lain terdapat Temujin, yang kini menjadi penguasa pasukan Mongol, berpangkat khan dan bergelar Chingiz -`lautan'. Seorang yang dikelilingi lautan pasukan. Lautan pasukan Mongol telah beralih dari Cina menuju ke barat, menjebol Persia bagaikan air sungai yang tiba-tiba meluap. Setelah Balkh ke utara, yang menjadi kampung halaman Rumi semasa kanak-kanak itu tenggelam, penduduknya menggelepar dalam darah. Sebuah mimpi telah memperingatkan ayah Rumi tentang nasib kota itu, sehingga dia pun pergi dengan keluarga dan para santrinya ke Anatolia. Wilayah yang di-perintah oleh suku Seljuk Turki, dan dikelilingi oleh parit raksasa untuk membendung gelombang penaklukan berdarah yang kian meningkat. Ibu kotanya adalah kota tua Konya, yang makmur dan terlindung dengan baik oleh dinding tembok yang tinggi dan menara-menara berornamen, serta parit yang dalam yang melindungi dua belas gerbang kotanya. Namun, baru saja tiga hari berlalu, panji-panji bulan sabit Islam bertemu dengan pasukan berkuda Mongol yang garang. Dan, di situlah Rumi mendapati dirinya.

Sebagaimana kesadaran akan kematian dirinya dapat mendorong seseorang untuk bertindak, demikian pun laporan tentang kota lain yang telah jatuh, pembantaian besar-besaran lainnya, mendorong rakyat ibukota yang berbenteng itu semakin memperjuangkan kekayaan mereka yang amat berharga namun rentan itu. Dan, Rumi adalah salah seorang di antara mutiara-mutiara mereka yang sangat berharga. Pikirannya cerdas, sehingga dia dengan mudah mempelajari pelbagai macam keahlian; dia sangat cepat dewasa sekaligus rendah hati. Di bidang ilmu hukum, agama, filsafat, bahasa: dia menonjol. la mudah menyerap apa yang diajarkan para pembimbingnya; dan pikiran-pikirannya yang cemerlang tak tertandingi dalam perdebatan pada masa dewasanya. Konya mencintai ayahnya yang terkenal. Dan, walaupun Rumi belum lepas dari bayang-bayang ayahnya, penduduk kota mencintai anak yang masyhur itu. Kekayaan ditawarkan, namun ditolaknya dengan halus. Tanah disumbangkan tapi diberikan lagi; ayah dan anak sekaya mereka yang miskin, tak terikat oleh kebutuhan dan ambisi. Rumi melangkah tenang di muka bumi ini, dan dari bawah kuk yang indah dia menarik kereta hidupnya.

Pada hari kelima Ramadhan, pelayan ayahnya memanggil Rumi dari madrasah, salah satu sekolah keagamaan di Konya. Saat itu musim dingin, dan orangtua itu bersandar pada bantal guling, sebuah syal tebal melilit di pundaknya, yang lain di atas lututnya. Kulitnya pucat dan jenggotnya, yang dulu tebal dan hitam, kini telah menguning. Daging pada jari jemarinya telah selonggar sarung tangan katun. Sebuah buku besar tergeletak di pangkuannya."Matamu lebih baik dari mataku. Periksalah angka-angka di dalam buku ini."

Rumi melakukan apa yang diperintahkannya.

"Masih adakah yang belum diselesaikan?" tanya ayahnya ketika dia telah selesai.

"Semua utang telah dibayar, dan semua pembayaran telah diterima."

Orang tua itu mengangguk dan mengulurkan tangannya. Rumi menyodorkan buku kas itu, tapi ayahnya menggelengkan kepala."Tidak, tidak, tidak. Buku lain."

Rumi menerka maksud ayahnya, dan mengambil al-Qur'an dari rak yang tinggi lalu membuka bungkusnya. Dia menenangkan getaran tangan sang ayah dengan jari-jemarinya lalu mengangkat Kitab Suci itu sehingga dia dapat menciumnya. Baha Walad tidak berusaha membukanya, dia tidak perlu membaca kata-kata di dalamnya; dia seorang hafizh, orang yang telah menghafal al-Qur`an: kata-kata itu telah tertulis dalam hatinya.

Rumi meletakkan Kitab itu dalam pangkuan ayahnya, dan mengamati wajahnya, tapi pandangan Baha Walad yang pucat menerobos di atas pundaknya. Rumi menoleh untuk melihat objek perhatian ayahnya, tapi mata sang ayah tidak terpaku pada apa pun. Tidak ada apa pun kecuali kedatangan Kerajaan Allah.

Rumi memperhatikan sosok di atas kasur jerami itu dengan rasa takut. Baha Walad menjadi semakin lemah seiring dengan meningkatnya musim dingin, seolah-olah dia menjadi semakin kecil dan tak menginginkan apa pun selain cahaya matahari. Dia bersikeras untuk meneruskan puasanya sepanjang Ramadlan ini, walau sakit, dan nyaris tak punya kekuatan untuk melaksanakan shalat. Rumi memperhatikan jari-jemari ayahnya yang menari-nari di atas papan kayu al-Qur'an dan berusaha melihat orang yang menemaninya itu. Sekarang sulit untuk percaya, bahwa beberapa bulan yang lalu Baha Walad masih tampak penuh kekuatan. Agamanya telah mengisi otot dan tulangnya, berdenyut melalui jenggotnya; dia tampak seperti seorang nabi ketika berkotbah di mesjid, suaranya terasa muncul dari dinding-dinding dan lantai mesjid. Tak seorang pun berani melintasinya, baik anak-anak atau pun orang dewasa."Dia adalah sultan al-ulama", kata mereka, sebuah otoritas kedua setelah Nabi Muhammad.

Sekarang kepalanya yang mulia gemetaran di atas lehernya yang terlalu lemah menyangganya. Allah telah mengubahnya menjadi seorang bayi yang rewel.

Baha Walad mengernyitkan mata pada anaknya seakan-akan dia tak percaya siapa yang tengah dia lihat. "Aku akan pergi pada perayaan Idul Fitri. Kamu akan menguburku dan menggantikan posisiku." Jari-jemarinya meneruskan tarian ketaktenangannya; sebuah kehidupan milik mereka.

Rumi mengatupkan bibirnya agar tidak protes.

Bagaimana dia bisa mati? Ini hanyalah penyakit orangtua yang akan berlalu. Ini hanyalah demam musim dingin yang akan terhalau oleh matahari musim semi.

Anggukan kepala ini jelas akan membuat dirinya gemetar, otot-otot yang lemah itu akan kuat kembali dengan makan teratur. Sekali pun kekuatan tubuhnya merosot, namun semangat ayahnya tetaplah semangat orang besar dan penting: bagaimana sesuatu yang begitu besar menjadi tiada?

Ruangan itu dingin. Rumi menyalakan api kecil, lalu berlutut di depan perapian dan meniup api. Dia melepas jubahnya dan menyelimutkan di bahu ayahnya, kemudian berlutut di samping kasur jerami itu dan menggenggam tangan ayahnya. Dia memijitnya seakan-akan dapat memaksanya hidup kembali dengan genggamannya itu. "Ayah, ayah akan baik lagi."

Rumi pernah melihat kematian sebelumnya. Ketika masih kanak-kanak dia menyaksikan pembantaian Mongol di Samarqand. la menyaksikan dalam kengerian manakala bangunan dibakar dan penduduknya berlarian tersayat pedang. Dia telah melihat betapa cepat jiwa terpisah dari tubuh. Dia pernah berjalan melintasi sisa-sisa rumah yang terbakar dan melihat wajah-wajah jenazah dengan mulut mereka yang menganga, tangan-tangan yang terlempar jauh seolah beterbangan. Sekarang giliran Baha Walad.

"Aku tidak siap, ayah. Ayah tidak boleh meninggalkanku sekarang," akhirnya dia berucap.

Sang ayah melepaskan jari-jemarinya dari genggaman anaknya dan membelai rambut Rumi, jari-jemarinya yang gemetar mengusap pipinya sampai ke dagunya. Dia mengusap jenggot anaknya. Dan, Rumi tahu bahwa untuk sesaat dia adalah sandaran ayahnya. Usapan yang tertahan ini bagaikan isyarat yang lazim, sehingga dia terisak-isak. Rumi tidak menginginkan apa pun selain menangkap kesempatan ini, tinggal di sini selamanya dengan ayahnya yang menyeka jenggotnya, tak pernah tumbuh, atau semakin tua, atau terpisah dari yang lain. Kesedihannya telah disuling dalam tetes air mata yang meleleh di pipinya dan jatuh di atas jari ayahnya.

"Manusia mati sesuai dengan cara hidupnya," bisik sang ayah. "Dan, dia dinilai sesuai dengan cara matinya. Aku akan mati dalam damai."

Jemari orang tua itu semakin erat menggenggam jenggot anaknya. "Kamu telah tumbuh menjadi kuat dan menjanjikan." Sesungging senyuman mengeriputkan kulit wajah orang tua itu. "Apakah kamu ingat ucapan Attar yang mulia? Kamu masih seorang anak ketika kita tinggal di Nisyapur. Dan, apa yang dia katakan ketika dia melihatmu sedang berjalan di belakangku? Apakah kamu ingat?"

Rumi akhirnya menangkap pertanyaan ayahnya. "Aku ingat, Ayah. Dia bilang 'Masya Allah, ada aliran sungai besar yang mengisap samudera yang sangat besar di belakangnya!"'

"Samudera yang sangat besar," gumam orang tua itu. "Samudera yang siap membanjiri dunia."

Rumi mendapati dirinya menangis, lalu dia memalingkan wajahnya. Dia malu atas kesedihannya, malu pada apa arti kesedihannya itu. Benar, dia adalah samudera---samudera air mata yang egois. Dia tidak ingin ditinggalkan sendirian menghadapi dunia.

"Kamu akan menggantikan posisiku," kata orang tua itu lagi. "Dunia penuh dengan orang yang haus."

"Haus akan Allah."

Baha Walad tersenyum lemah, gigi-giginya gemeretuk lantaran udara dingin. "Satu atau dua orang, mungkin. Tapi kebanyakan orang haus untuk ini" Dia memegang tangan anaknya dan menggenggamnya sekuat tenaganya yang masih tersisa, tapi dia begitu lemah, sehingga terasa lebih lemah daripada jabatan tangan. "Persahabatan, cinta, dan kerinduan. Sebuah akhir dari kepedihan." Dia membiarkan kelopak matanya memejam, wajahnya tiba-tiba memudar. "Aku Akan tidur sekarang."

Bukanlah perlindungan atas tanggung jawab semata yang diminta Rumi pada ayahnya, tapi juga perlindungan dalam menghadapi kekuatan yang jauh lebih besar. Sambil berlutut di samping ayahnya pada hari itu, dan sambil memperhatikan warna yang terpancar dari wajahnya, dia menyadari bahwa tanpa seorang teman bicara, dia berhadapan dengan dirinya sendiri; dengan tiada tangan yang menggenggamnya, dia akan berhadapan dengan Allah.

Dengan dilepaskannya jari-jemarinya dari genggaman Baha Walad, ia pun mengepal dan mengetuk-ngetuk pintu sorga. Malam itu Rumi memaki perbuatannya, dan menangis dalam kesedihan yang mendalam lantaran perlawanannya hanya untuk memaki lagi. Dia melelahkan dirinya sendiri dengan berdoa begitu lama sampai jenggotnya basah oleh air mata, dan terjatuh ke lantai. Dan toh ayahnya tetap wafat.

-000-

Selama empat puluh hari setelah kepergian Baha Walad, kota dalam suasana berkabung. Sultan dan para amir pun tidak menunggangi kuda-kuda mereka. Sehelai kabut duka cita telah menyelubungi pesta Idul Fitri, yang menandai akhir bulan puasa Ramadhan. Rumi tak bisa dihibur. Kerra Hatun, istrinya yang muda, menangis pertama-tama karena suaminya, baru kemudian karena dirinya sendiri daripada karena kematian ayah mertuanya. Walau dia telah mencoba mencintainya, Baha Walad selalu membuatnya sungkan dengan wajahnya yang berwibawa dan ketaatannya dalam beragama. Dan sebetulnya, tidak ada perlunya juga menumpahkan air mata atas namanya: dia telah berumur panjang dan hidup saleh; dia adalah orang baik yang sekarang telah berdiri di hadapan Allah. Itu sebabnya Rumilah yang merupakan pusat perhatiannya. Orang yang sangat dia cintai telah pergi, dan di tempatnya ada seraut wajah yang agak pucat. Ini bukanlah suaminya; dia adalah seorang pemuda menawan yang hidupnya selembut keningnya, yang cepat tersenyum, dan tidak mudah marah. Sekarang setiap usaha yang dia lakukan untuk mengalihkan pikirannya telah menubruk tatapan kosong dan sikap lekas marah. Ketika Hatun melihat cara Rumi memandang kedua anaknya, yang jenaka, yang tidak punya kesabaran untuk kesedihan, dan yang melihat jurang kematian ini menganga, dia meremas tangannya sendiri dan mencucurkan air mata duka.

"Telah pergi ke mana kau, Suamiku?" keluhnya lirih, sambil menarik-narik jubahnya dan mengguncang-guncangkannya.

Rumi tidak melakukan apa pun untuk mempertahankan diri. "Sekarang aku tak punya siapa pun di dunia ini," katanya. "Aku sendirian."

"Bukankah aku istrimu?"

"Istriku, ya. Tapi bukan sahabatku."

Hatun mendorongnya dan menyambar sepotong kayu bakar dari perapian. Rumi mengira dia akan memukul dirinya dengan kayu itu, tapi ternyata menyulutkan api dengan amarah, menyorong arang sehingga menyebarkan percikan ke dalam ruangan. Rumi memperhatikan percikan-percikan cahaya itu seakan-akan percikan belaka, dan bukan tanda-tanda letupan kemarahan istrinya.

"Bagaimana ayahmu adalah sahabatmu?" tanya Hatun, suaranya setajam pecahan kaca. "Ketika kamu tidak takut kepadanya, kamu kagum kepadanya."

Rumi tidak menjawab. Jika saja Hatun bisa mengerti tentu dia tidak akan mengajukan pertanyaan itu. Jawaban apa pun yang dia berikan tidak akan berarti apa-apa baginya.

Tapi apa yang dia maksud dengan menyebut ayahnya sahabat? Istrinya benar: Baha Walad adalah seorang manusia hebat yang tidak hanya meninggalkan kesan mendalam pada anaknya, tapi juga bagi banyak orang lain. Dia mengenakan keagungannya bak jubahnya, yang tak mungkin ditanggalkannya. Dan, meskipun tatapannya tajam dan air mukanya tanpa senyum, Baha Walad tetaplah orang yang lembut dan perasa bak gadis yang sedang kasmaran. Yang menjadi devosinya? Allah. Baha Walad, seperti juga anaknya, lahir dalam keluarga saleh, yang ketaatannya pada Allah meresap sedemikian mendalam melampaui ikatan darah atau ikatan apa pun: dia adalah anggota keluarga yang mencintai Allah. Dan setiap anggota keluarga, berapa pun usianya, dan apa pun status serta sukunya adalah sahabat bagi yang lain.

Rumi minta agar mereka menggunakan beberapa ruangan ayahnya di kompleks sekolah itu: dua ruangan sederhana yang dindingnya terbakar matahari dan palet kayu digunakan sebagai tempat tidur. Hatun, menurut Rumi, akan terpancing oleh hal itu.

"Di mana letak kebahagiaanmu sebenarnya?" selidiknya. "Mengapa, ketika posisimu menanjak, kebahagiaan kita justru menurun?" Hatun menyuruh pelayannya mengambil karpet yang putih dan bagus, tapi Rumi melarang mereka membawanya ke rumah baru itu.

"Masa kanak-kanak telah berakhir, istriku," katanya. "Kita harus meninggalkan mainan-mainan kita di belakang. Ayahku telah wafat, aku penerusnya dan kamu istriku. Kita akan hidup sejahtera, insya Allah, kita akan mengabdi Allah dan melayani umat."

"Dan anak-anak kita---akankah kau telantarkan masa kanak-kanak mereka? Akan kau biarkankah mereka menjadi pengemis dan tua begitu saja?"

Rumi mengangkat tirai jendela dan memberi isyarat pada istrinya. Ada badai salju malam itu, dan salju menutupi sepanjang jalan dan atap-atap rumah. Keduanya terpesona oleh keindahan malam yang mendadak muncul itu. "Panggil anak-anak," kata Rumi pada Hatun.

"Sultan Walad! Alauddin!"

Kedua anak itu datang berlari menemui orangtuanya. Ini pertama kalinya kedua anak itu melihat salju, dan mereka benar-benar senang karenanya. Dalam pelukan orangtua mereka untuk melawan udara dingin, kedua wajah anak itu tampak kemerah-merahan. Rumi membungkuk dan mengelus kepala mereka,  dan mereka tertawa bahagia melihat ayahnya tersenyum.

"Menjadi orangtua seperti ini adalah tujuan hidupku," katanya pada Hatun.

Istrinya memalingkan mukanya dari jendela sehingga anak-anak itu tidak melihat air matanya yang menetes. Pandangan sekilas dan jarang dilakukan oleh matahari Rumi dari balik badai awan-gemawan itu menyadarkan Hatun betapa dalam dan lamanya musim dingin itu. Hatun tahu bahwa kematian Baha Walad bagi Rumi sangat berarti--dan memedihkan sekali bak biji kacang yang harus lepas dari kecambahnya. Karena selama ayahnya hidup, Rumi tidak pernah lepas dari balik perlindungan jubah ayahnya. Tak seorang pun mencapai kematangan yang sempurna hingga ayahnya wafat: dan tak seorang pun dari anak Baha Walad yang bisa menjalani kehidupannya sendiri hingga dia harus menguburkan orang yang namanya selalu dia sandang. Dengan kepergian Baha Walad, Rumi harus menjadi dirinya sendiri. Tidak akan ada jarak lagi antara dirinya dan penduduk Konya. Dengan ayahnya melewati ambang pintu terakhir, Rumi otomatis menjadi syeikh, dan bertanggungjawab membimbing ribuan orang.

Hatun tahu itu merupakan kehendak Allah agar benih jiwa Rumi bisa berkembang agar pohon kehidupannya melampaui pohon kehidupan ayahnya, dan Hatun membenci Allah karena pengetahuan yang diperolehnya itu. Sebab, dia merindukan bola mata hitam pemuda yang telah dinikahinya itu. Dia merindukan suaminya mengelus kepala anak-anaknya dan bercanda ria dengan mereka. Dia tidak suka suaminya menjadi besar dan berjarak karenanya.

Rumi memanggil Husam sahabatnya ke rumahnya. "Apa yang harus saya lakukan? Kedudukan ayah kini kosong. Bagaimana aku harus mengisinya?"

"Kamu tidak bisa menjadi ayahmu, tapi kamu bisa menjadi dirimu sendiri," tegas sahabatnya. "Mengapa kamu cemas? Kamu kan anak Konya yang paling dihormati?"

"Tapi aku tak tahu apa-apa."

"Tak seorang pun di Konya yang lebih tahu daripada dirimu."

"Aku tetap seorang santri."

Husam memalingkan muka darinya, tapi Rumi menarik lengan bajunya. "Aku akan ke Damaskus mencari seorang mursyid (syeikh) yang dapat melengkapi pengetahuanku."

"Tapi tempatmu di sini."

"Siapa yang tidak punya mursyid, mursyidnya adalah Setan. Jika aku tetap tinggal di sini aku salah."

"Salah? Lalu apa yang akan terjadi atas penduduk Konya?"

Rumi terguncang oleh gugatan perasaan sahabatnya.

"Mengapa kamu begitu marah, Husamuddin?" "Mengapa kamu begitu takut, Jalaluddin?" Dia tidak bisa menjawab.

-000-

Pada hari keempat puluh satu, ketika masa perkabungan telah resmi berakhir, Rumi membuka pintunya untuk orang banyak, melihat mata mereka yang sudah tak sabar lagi untuk minta bimbingan, dan dia merasakan ketetapan hatinya semakin kuat. Lebih mudah menerima penunjukan mereka, menggantikan jabatan ayahnya di madrasah, menyampaikan kotbah, memutuskan perselisihan, menulis doa-doa, daripada melakukan sesuatu yang masih harus diperkirakan, dan jalannya pun terbentang luas di hadapannya. Baginya buku pedoman imam itu bukanlah jalan setapak yang mulus; segala yang telah diajarkan ayahnya kepadanya merupakan persiapan untuk memanfaatkan kesempatan yang berharga ini. Dan, walaupun jalan yang membentang itu tak lepas dari pelbagai hambatan, dia telah melangkahkan kakinya untuk pertama kalinya.

Dia mengangkat kedua tangannya untuk menenangkan orang banyak. "Aku tak tahu apa pun untuk mengajar kalian," katanya. "Aku cinta penduduk Konya, dan insya Allah, suatu hari aku akan pantas menjadi pengganti ayahku. Sampai bibirku terkunci rapat."

Dia menutup pintu dan bersandar pada pintu itu seolah-olah mengira orang banyak hendak memaksanya untuk membukanya.

"Apa yang kamu lakukan?" Hatun mencibir. "Apa kamu sudah gila? Bagaimana kita bisa hidup jika kamu tidak menggantikan posisi ayahmu di dunia pendidikan?"

"Dengan pertolongan Allah."

Sekalipun dia tiba-tiba menjadi bimbang mengenai alasan yang ia kemukakan, tapi akan satu hal dia yakin: bahwa dia belum siap menjadi pembimbing spiritual bagi orang-orang tersebut. Dia telah berjalan sampai ke dinding-dinding pengetahuan ayahnya untuk sekadar menemukan bahwa ternyata masih ada lebih banyak dan bahkan jauh lebih banyak ruang di luar sana. Bagaimana dia bisa membimbing penduduk jika dia sendiri kehilangan jatidirinya?

Kemudian dia menenggelamkan dirinya dalam buku-bukunya, mencari jawaban dalam halaman-halaman bukunya bak seorang petualang yang tersesat yang kemudian mati-matian membaca peta dengan cermat. Dia menolak semua kawan dan hiburan. "Dia dirundung kesedihan," kata beberapa orang. "Biarkan dia sendirian, sampai luka-lukanya sembuh."

"Dia tidak sama dengan ayahnya," ujar yang lain, "Dan, dia itu malu-malu."

"Atau takut-takut."

"Tapi dia punya kewajiban terhadap kita," timpal yang lain. "Apa pun perasaannya, dia harus bisa mengesampingkannya." Baha Walad tidak hanya menjadi ayahnya saja--ia ayah kita semua juga; kita memberinya baju, makanan, dan mendidiknya dalam masa persiapan sampai dengan hari ini. Sekarang dia harus membayar utangnya itu."

Hanya seorang yang tahu isi hati Rumi, dan orang itu masih asing bagi Konya. Dia terbungkus dalam jubah wol. Dialah Sayyid Burhan.

Ketika Sang Ayah Meninggalkan Rumi Untuk Selamanya dalam format Video Naratif dapat disimak melalui: YOUTUBE MISTIKUS CHANNEL | Yuk SUBSCRIBE, Klik dibawah ini:







Terima kasih telah membaca Ketika Sang Ayah Meninggalkan Rumi Untuk Selamanya | Silahkan share Ketika Sang Ayah Meninggalkan Rumi Untuk Selamanya melalui media sosial. Untuk menyimak posting terbaru silahkan Like Facebook :
| Twitter : | Youtube Channel:
Info :
Sudah berapa lama Anda menahan rindu untuk berangkat ke Baitullah? Melihat Ka’bah langsung dalam jarak dekat dan berkesempatan berziarah ke makam Rasulullah. Untuk menjawab kerinduan Anda, silahkan klik Instagram | Facebook.

Post a Comment Disqus

 
Top