Kita ini tertutup; kebanyakan dari kita
bagaikan hari-hari mendung, sinar cahaya kita dikaburkan oleh awan-awan hujan. Kita
tinggal di kampung yang dingin dan gelap; yang mataharinya redup, yang hasil
panenannya berupa wajah-wajah yang pucat. Dapatkah kita percaya bahwa matahari
akan menjadi hangat bila kita harus memulai sesuatu yang berbahaya dan sulit
setiap pagi? Di malam yang gelap-gulita, ketika belahan rembulan hanya
memancarkan cahaya sekadar untuk menunjukkan pekatnya kegelapan yang
mengitarinya-dapatkah kita percaya bahwa ada dunia warna? Lihatlah diri
kita-kita tampak begitu dingin dan buta. Matahari tersembunyi di dalam diri
kita; kita adalah batu koral yang tak berharga dan berlumuran lumpur. Pantulkan
cahaya matahari pada batu granit, demikian kata mereka, dan batu delima pun
akan muncul. Demikian pula manusia dapat diubah oleh cahaya matahari batin.
Dengarlah hikayat transformasi itu lewat riwayat Rumi:
-000-
Jalal al-Din Muhammad al-Rumi adalah anak
yang terberkati, yang lahir dalam ayunan yang digerakkan oleh dua kekuatan:
Kekuatan Allah dan kekuatan manusia. Di satu sisi di dalam ayunan itu terdapat
tangan ayah dan kakeknya: Baha Walad dan Husein ibn Ahmad Khatibi, para hamba
Allah yang suci. Di sisi lain terdapat Temujin, yang kini menjadi penguasa pasukan
Mongol, berpangkat khan dan bergelar Chingiz -`lautan'. Seorang yang
dikelilingi lautan pasukan. Lautan pasukan Mongol telah beralih dari Cina
menuju ke barat, menjebol Persia bagaikan air sungai yang tiba-tiba meluap. Setelah
Balkh ke utara, yang menjadi kampung halaman Rumi semasa kanak-kanak itu
tenggelam, penduduknya menggelepar dalam darah. Sebuah mimpi telah
memperingatkan ayah Rumi tentang nasib kota itu, sehingga dia pun pergi dengan
keluarga dan para santrinya ke Anatolia. Wilayah yang di-perintah oleh suku
Seljuk Turki, dan dikelilingi oleh parit raksasa untuk membendung gelombang
penaklukan berdarah yang kian meningkat. Ibu kotanya adalah kota tua Konya,
yang makmur dan terlindung dengan baik oleh dinding tembok yang tinggi dan
menara-menara berornamen, serta parit yang dalam yang melindungi dua belas
gerbang kotanya. Namun, baru saja tiga hari berlalu, panji-panji bulan sabit
Islam bertemu dengan pasukan berkuda Mongol yang garang. Dan, di situlah Rumi
mendapati dirinya.
Sebagaimana kesadaran akan kematian dirinya
dapat mendorong seseorang untuk bertindak, demikian pun laporan tentang kota
lain yang telah jatuh, pembantaian besar-besaran lainnya, mendorong rakyat
ibukota yang berbenteng itu semakin memperjuangkan kekayaan mereka yang amat
berharga namun rentan itu. Dan, Rumi adalah salah seorang di antara mutiara-mutiara
mereka yang sangat berharga. Pikirannya cerdas, sehingga dia dengan mudah
mempelajari pelbagai macam keahlian; dia sangat cepat dewasa sekaligus rendah
hati. Di bidang ilmu hukum, agama, filsafat, bahasa: dia menonjol. la mudah
menyerap apa yang diajarkan para pembimbingnya; dan pikiran-pikirannya yang
cemerlang tak tertandingi dalam perdebatan pada masa dewasanya. Konya mencintai
ayahnya yang terkenal. Dan, walaupun Rumi belum lepas dari bayang-bayang
ayahnya, penduduk kota mencintai anak yang masyhur itu. Kekayaan ditawarkan,
namun ditolaknya dengan halus. Tanah disumbangkan tapi diberikan lagi; ayah dan
anak sekaya mereka yang miskin, tak terikat oleh kebutuhan dan ambisi. Rumi
melangkah tenang di muka bumi ini, dan dari bawah kuk yang indah dia menarik
kereta hidupnya.
Pada hari kelima Ramadhan, pelayan ayahnya
memanggil Rumi dari madrasah, salah satu sekolah keagamaan di Konya. Saat itu
musim dingin, dan orangtua itu bersandar pada bantal guling, sebuah syal tebal
melilit di pundaknya, yang lain di atas lututnya. Kulitnya pucat dan
jenggotnya, yang dulu tebal dan hitam, kini telah menguning. Daging pada jari jemarinya
telah selonggar sarung tangan katun. Sebuah buku besar tergeletak di
pangkuannya."Matamu lebih baik dari mataku. Periksalah angka-angka di
dalam buku ini."
Rumi melakukan apa yang diperintahkannya.
"Masih adakah yang belum
diselesaikan?" tanya ayahnya ketika dia telah selesai.
"Semua utang telah dibayar, dan semua
pembayaran telah diterima."
Orang tua itu mengangguk dan mengulurkan
tangannya. Rumi menyodorkan buku kas itu, tapi ayahnya menggelengkan
kepala."Tidak, tidak, tidak. Buku lain."
Rumi menerka maksud ayahnya, dan mengambil
al-Qur'an dari rak yang tinggi lalu membuka bungkusnya. Dia menenangkan getaran
tangan sang ayah dengan jari-jemarinya lalu mengangkat Kitab Suci itu sehingga
dia dapat menciumnya. Baha Walad tidak berusaha membukanya, dia tidak perlu
membaca kata-kata di dalamnya; dia seorang hafizh, orang yang telah menghafal
al-Qur`an: kata-kata itu telah tertulis dalam hatinya.
Rumi meletakkan Kitab itu dalam pangkuan
ayahnya, dan mengamati wajahnya, tapi pandangan Baha Walad yang pucat menerobos
di atas pundaknya. Rumi menoleh untuk melihat objek perhatian ayahnya, tapi
mata sang ayah tidak terpaku pada apa pun. Tidak ada apa pun kecuali kedatangan
Kerajaan Allah.
Rumi memperhatikan sosok di atas kasur jerami
itu dengan rasa takut. Baha Walad menjadi semakin lemah seiring dengan
meningkatnya musim dingin, seolah-olah dia menjadi semakin kecil dan tak menginginkan
apa pun selain cahaya matahari. Dia bersikeras untuk meneruskan puasanya
sepanjang Ramadlan ini, walau sakit, dan nyaris tak punya kekuatan untuk
melaksanakan shalat. Rumi memperhatikan jari-jemari ayahnya yang menari-nari di
atas papan kayu al-Qur'an dan berusaha melihat orang yang menemaninya itu. Sekarang
sulit untuk percaya, bahwa beberapa bulan yang lalu Baha Walad masih tampak
penuh kekuatan. Agamanya telah mengisi otot dan tulangnya, berdenyut melalui
jenggotnya; dia tampak seperti seorang nabi ketika berkotbah di mesjid,
suaranya terasa muncul dari dinding-dinding dan lantai mesjid. Tak seorang pun
berani melintasinya, baik anak-anak atau pun orang dewasa."Dia adalah
sultan al-ulama", kata mereka, sebuah otoritas kedua setelah Nabi
Muhammad.
Sekarang kepalanya yang mulia gemetaran di
atas lehernya yang terlalu lemah menyangganya. Allah telah mengubahnya menjadi
seorang bayi yang rewel.
Baha Walad mengernyitkan mata pada anaknya seakan-akan
dia tak percaya siapa yang tengah dia lihat. "Aku akan pergi pada perayaan
Idul Fitri. Kamu akan menguburku dan menggantikan posisiku." Jari-jemarinya
meneruskan tarian ketaktenangannya; sebuah kehidupan milik mereka.
Rumi mengatupkan bibirnya agar tidak protes.
Bagaimana dia bisa mati? Ini hanyalah
penyakit orangtua yang akan berlalu. Ini hanyalah demam musim dingin yang akan
terhalau oleh matahari musim semi.
Anggukan kepala ini jelas akan membuat
dirinya gemetar, otot-otot yang lemah itu akan kuat kembali dengan makan
teratur. Sekali pun kekuatan tubuhnya merosot, namun semangat ayahnya tetaplah
semangat orang besar dan penting: bagaimana sesuatu yang begitu besar menjadi
tiada?
Ruangan itu dingin. Rumi menyalakan api
kecil, lalu berlutut di depan perapian dan meniup api. Dia melepas jubahnya dan
menyelimutkan di bahu ayahnya, kemudian berlutut di samping kasur jerami itu dan
menggenggam tangan ayahnya. Dia memijitnya seakan-akan dapat memaksanya hidup
kembali dengan genggamannya itu. "Ayah, ayah akan baik lagi."
Rumi pernah melihat kematian sebelumnya. Ketika
masih kanak-kanak dia menyaksikan pembantaian Mongol di Samarqand. la
menyaksikan dalam kengerian manakala bangunan dibakar dan penduduknya berlarian
tersayat pedang. Dia telah melihat betapa cepat jiwa terpisah dari tubuh. Dia
pernah berjalan melintasi sisa-sisa rumah yang terbakar dan melihat wajah-wajah
jenazah dengan mulut mereka yang menganga, tangan-tangan yang terlempar jauh
seolah beterbangan. Sekarang giliran Baha Walad.
"Aku tidak siap, ayah. Ayah tidak boleh
meninggalkanku sekarang," akhirnya dia berucap.
Sang ayah melepaskan jari-jemarinya dari
genggaman anaknya dan membelai rambut Rumi, jari-jemarinya yang gemetar
mengusap pipinya sampai ke dagunya. Dia mengusap jenggot anaknya. Dan, Rumi
tahu bahwa untuk sesaat dia adalah sandaran ayahnya. Usapan yang tertahan ini
bagaikan isyarat yang lazim, sehingga dia terisak-isak. Rumi tidak menginginkan
apa pun selain menangkap kesempatan ini, tinggal di sini selamanya dengan
ayahnya yang menyeka jenggotnya, tak pernah tumbuh, atau semakin tua, atau
terpisah dari yang lain. Kesedihannya telah disuling dalam tetes air mata yang
meleleh di pipinya dan jatuh di atas jari ayahnya.
"Manusia mati sesuai dengan cara
hidupnya," bisik sang ayah. "Dan, dia dinilai sesuai dengan cara
matinya. Aku akan mati dalam damai."
Jemari orang tua itu semakin erat menggenggam
jenggot anaknya. "Kamu telah tumbuh menjadi kuat dan menjanjikan." Sesungging
senyuman mengeriputkan kulit wajah orang tua itu. "Apakah kamu ingat
ucapan Attar yang mulia? Kamu masih seorang anak ketika kita tinggal di
Nisyapur. Dan, apa yang dia katakan ketika dia melihatmu sedang berjalan di
belakangku? Apakah kamu ingat?"
Rumi akhirnya menangkap pertanyaan ayahnya. "Aku
ingat, Ayah. Dia bilang 'Masya Allah, ada aliran sungai besar yang mengisap
samudera yang sangat besar di belakangnya!"'
"Samudera yang sangat besar," gumam
orang tua itu. "Samudera yang siap membanjiri dunia."
Rumi mendapati dirinya menangis, lalu dia
memalingkan wajahnya. Dia malu atas kesedihannya, malu pada apa arti
kesedihannya itu. Benar, dia adalah samudera---samudera air mata yang egois. Dia
tidak ingin ditinggalkan sendirian menghadapi dunia.
"Kamu akan menggantikan posisiku,"
kata orang tua itu lagi. "Dunia penuh dengan orang yang haus."
"Haus akan Allah."
Baha Walad tersenyum lemah, gigi-giginya
gemeretuk lantaran udara dingin. "Satu atau dua orang, mungkin. Tapi
kebanyakan orang haus untuk ini" Dia memegang tangan anaknya dan
menggenggamnya sekuat tenaganya yang masih tersisa, tapi dia begitu lemah,
sehingga terasa lebih lemah daripada jabatan tangan. "Persahabatan, cinta,
dan kerinduan. Sebuah akhir dari kepedihan." Dia membiarkan kelopak
matanya memejam, wajahnya tiba-tiba memudar. "Aku Akan tidur
sekarang."
Bukanlah perlindungan atas tanggung jawab
semata yang diminta Rumi pada ayahnya, tapi juga perlindungan dalam menghadapi
kekuatan yang jauh lebih besar. Sambil berlutut di samping ayahnya pada hari itu,
dan sambil memperhatikan warna yang terpancar dari wajahnya, dia menyadari
bahwa tanpa seorang teman bicara, dia berhadapan dengan dirinya sendiri; dengan
tiada tangan yang menggenggamnya, dia akan berhadapan dengan Allah.
Dengan dilepaskannya jari-jemarinya dari
genggaman Baha Walad, ia pun mengepal dan mengetuk-ngetuk pintu sorga. Malam
itu Rumi memaki perbuatannya, dan menangis dalam kesedihan yang mendalam
lantaran perlawanannya hanya untuk memaki lagi. Dia melelahkan dirinya sendiri
dengan berdoa begitu lama sampai jenggotnya basah oleh air mata, dan terjatuh
ke lantai. Dan toh ayahnya tetap wafat.
-000-
Selama empat puluh hari setelah kepergian
Baha Walad, kota dalam suasana berkabung. Sultan dan para amir pun tidak
menunggangi kuda-kuda mereka. Sehelai kabut duka cita telah menyelubungi pesta
Idul Fitri, yang menandai akhir bulan puasa Ramadhan. Rumi tak bisa dihibur.
Kerra Hatun, istrinya yang muda, menangis pertama-tama karena suaminya, baru
kemudian karena dirinya sendiri daripada karena kematian ayah mertuanya. Walau
dia telah mencoba mencintainya, Baha Walad selalu membuatnya sungkan dengan
wajahnya yang berwibawa dan ketaatannya dalam beragama. Dan sebetulnya, tidak
ada perlunya juga menumpahkan air mata atas namanya: dia telah berumur panjang
dan hidup saleh; dia adalah orang baik yang sekarang telah berdiri di hadapan
Allah. Itu sebabnya Rumilah yang merupakan pusat perhatiannya. Orang yang
sangat dia cintai telah pergi, dan di tempatnya ada seraut wajah yang agak
pucat. Ini bukanlah suaminya; dia adalah seorang pemuda menawan yang hidupnya
selembut keningnya, yang cepat tersenyum, dan tidak mudah marah. Sekarang
setiap usaha yang dia lakukan untuk mengalihkan pikirannya telah menubruk
tatapan kosong dan sikap lekas marah. Ketika Hatun melihat cara Rumi memandang
kedua anaknya, yang jenaka, yang tidak punya kesabaran untuk kesedihan, dan
yang melihat jurang kematian ini menganga, dia meremas tangannya sendiri dan
mencucurkan air mata duka.
"Telah pergi ke mana kau, Suamiku?"
keluhnya lirih, sambil menarik-narik jubahnya dan mengguncang-guncangkannya.
Rumi tidak melakukan apa pun untuk mempertahankan
diri. "Sekarang aku tak punya siapa pun di dunia ini," katanya. "Aku
sendirian."
"Bukankah aku istrimu?"
"Istriku, ya. Tapi bukan
sahabatku."
Hatun mendorongnya dan menyambar sepotong kayu
bakar dari perapian. Rumi mengira dia akan memukul dirinya dengan kayu itu,
tapi ternyata menyulutkan api dengan amarah, menyorong arang sehingga
menyebarkan percikan ke dalam ruangan. Rumi memperhatikan percikan-percikan
cahaya itu seakan-akan percikan belaka, dan bukan tanda-tanda letupan kemarahan
istrinya.
"Bagaimana ayahmu adalah
sahabatmu?" tanya Hatun, suaranya setajam pecahan kaca. "Ketika kamu
tidak takut kepadanya, kamu kagum kepadanya."
Rumi tidak menjawab. Jika saja Hatun bisa
mengerti tentu dia tidak akan mengajukan pertanyaan itu. Jawaban apa pun yang
dia berikan tidak akan berarti apa-apa baginya.
Tapi apa yang dia maksud dengan menyebut
ayahnya sahabat? Istrinya benar: Baha Walad adalah seorang manusia hebat yang
tidak hanya meninggalkan kesan mendalam pada anaknya, tapi juga bagi banyak
orang lain. Dia mengenakan keagungannya bak jubahnya, yang tak mungkin
ditanggalkannya. Dan, meskipun tatapannya tajam dan air mukanya tanpa senyum,
Baha Walad tetaplah orang yang lembut dan perasa bak gadis yang sedang
kasmaran. Yang menjadi devosinya? Allah. Baha Walad, seperti juga anaknya,
lahir dalam keluarga saleh, yang ketaatannya pada Allah meresap sedemikian
mendalam melampaui ikatan darah atau ikatan apa pun: dia adalah anggota
keluarga yang mencintai Allah. Dan setiap anggota keluarga, berapa pun usianya,
dan apa pun status serta sukunya adalah sahabat bagi yang lain.
Rumi minta agar mereka menggunakan beberapa
ruangan ayahnya di kompleks sekolah itu: dua ruangan sederhana yang dindingnya
terbakar matahari dan palet kayu digunakan sebagai tempat tidur. Hatun, menurut
Rumi, akan terpancing oleh hal itu.
"Di mana letak kebahagiaanmu
sebenarnya?" selidiknya. "Mengapa, ketika posisimu menanjak,
kebahagiaan kita justru menurun?" Hatun menyuruh pelayannya mengambil
karpet yang putih dan bagus, tapi Rumi melarang mereka membawanya ke rumah baru
itu.
"Masa kanak-kanak telah berakhir,
istriku," katanya. "Kita harus meninggalkan mainan-mainan kita di
belakang. Ayahku telah wafat, aku penerusnya dan kamu istriku. Kita akan hidup
sejahtera, insya Allah, kita akan mengabdi Allah dan melayani umat."
"Dan anak-anak kita---akankah kau
telantarkan masa kanak-kanak mereka? Akan kau biarkankah mereka menjadi
pengemis dan tua begitu saja?"
Rumi mengangkat tirai jendela dan memberi
isyarat pada istrinya. Ada badai salju malam itu, dan salju menutupi sepanjang
jalan dan atap-atap rumah. Keduanya terpesona oleh keindahan malam yang
mendadak muncul itu. "Panggil anak-anak," kata Rumi pada Hatun.
"Sultan Walad! Alauddin!"
Kedua anak itu datang berlari menemui
orangtuanya. Ini pertama kalinya kedua anak itu melihat salju, dan mereka
benar-benar senang karenanya. Dalam pelukan orangtua mereka untuk melawan udara
dingin, kedua wajah anak itu tampak kemerah-merahan. Rumi membungkuk dan
mengelus kepala mereka, dan mereka
tertawa bahagia melihat ayahnya tersenyum.
"Menjadi orangtua seperti ini adalah
tujuan hidupku," katanya pada Hatun.
Istrinya memalingkan mukanya dari jendela
sehingga anak-anak itu tidak melihat air matanya yang menetes. Pandangan
sekilas dan jarang dilakukan oleh matahari Rumi dari balik badai awan-gemawan
itu menyadarkan Hatun betapa dalam dan lamanya musim dingin itu. Hatun tahu
bahwa kematian Baha Walad bagi Rumi sangat berarti--dan memedihkan sekali bak
biji kacang yang harus lepas dari kecambahnya. Karena selama ayahnya hidup,
Rumi tidak pernah lepas dari balik perlindungan jubah ayahnya. Tak seorang pun
mencapai kematangan yang sempurna hingga ayahnya wafat: dan tak seorang pun
dari anak Baha Walad yang bisa menjalani kehidupannya sendiri hingga dia harus
menguburkan orang yang namanya selalu dia sandang. Dengan kepergian Baha Walad,
Rumi harus menjadi dirinya sendiri. Tidak akan ada jarak lagi antara dirinya
dan penduduk Konya. Dengan ayahnya melewati ambang pintu terakhir, Rumi
otomatis menjadi syeikh, dan bertanggungjawab membimbing ribuan orang.
Hatun tahu itu merupakan kehendak Allah agar
benih jiwa Rumi bisa berkembang agar pohon kehidupannya melampaui pohon
kehidupan ayahnya, dan Hatun membenci Allah karena pengetahuan yang
diperolehnya itu. Sebab, dia merindukan bola mata hitam pemuda yang telah
dinikahinya itu. Dia merindukan suaminya mengelus kepala anak-anaknya dan
bercanda ria dengan mereka. Dia tidak suka suaminya menjadi besar dan berjarak
karenanya.
Rumi memanggil Husam sahabatnya ke rumahnya. "Apa
yang harus saya lakukan? Kedudukan ayah kini kosong. Bagaimana aku harus
mengisinya?"
"Kamu tidak bisa menjadi ayahmu, tapi
kamu bisa menjadi dirimu sendiri," tegas sahabatnya. "Mengapa kamu
cemas? Kamu kan anak Konya yang paling dihormati?"
"Tapi aku tak tahu apa-apa."
"Tak seorang pun di Konya yang lebih
tahu daripada dirimu."
"Aku tetap seorang santri."
Husam memalingkan muka darinya, tapi Rumi
menarik lengan bajunya. "Aku akan ke Damaskus mencari seorang mursyid
(syeikh) yang dapat melengkapi pengetahuanku."
"Tapi tempatmu di sini."
"Siapa yang tidak punya mursyid,
mursyidnya adalah Setan. Jika aku tetap tinggal di sini aku salah."
"Salah? Lalu apa yang akan terjadi atas
penduduk Konya?"
Rumi terguncang oleh gugatan perasaan
sahabatnya.
"Mengapa kamu begitu marah,
Husamuddin?" "Mengapa kamu begitu takut, Jalaluddin?" Dia tidak
bisa menjawab.
-000-
Pada hari keempat puluh satu, ketika masa
perkabungan telah resmi berakhir, Rumi membuka pintunya untuk orang banyak,
melihat mata mereka yang sudah tak sabar lagi untuk minta bimbingan, dan dia
merasakan ketetapan hatinya semakin kuat. Lebih mudah menerima penunjukan
mereka, menggantikan jabatan ayahnya di madrasah, menyampaikan kotbah,
memutuskan perselisihan, menulis doa-doa, daripada melakukan sesuatu yang masih
harus diperkirakan, dan jalannya pun terbentang luas di hadapannya. Baginya
buku pedoman imam itu bukanlah jalan setapak yang mulus; segala yang telah
diajarkan ayahnya kepadanya merupakan persiapan untuk memanfaatkan kesempatan yang
berharga ini. Dan, walaupun jalan yang membentang itu tak lepas dari pelbagai
hambatan, dia telah melangkahkan kakinya untuk pertama kalinya.
Dia mengangkat kedua tangannya untuk
menenangkan orang banyak. "Aku tak tahu apa pun untuk mengajar
kalian," katanya. "Aku cinta penduduk Konya, dan insya Allah, suatu
hari aku akan pantas menjadi pengganti ayahku. Sampai bibirku terkunci
rapat."
Dia menutup pintu dan bersandar pada pintu
itu seolah-olah mengira orang banyak hendak memaksanya untuk membukanya.
"Apa yang kamu lakukan?" Hatun
mencibir. "Apa kamu sudah gila? Bagaimana kita bisa hidup jika kamu tidak
menggantikan posisi ayahmu di dunia pendidikan?"
"Dengan pertolongan Allah."
Sekalipun dia tiba-tiba menjadi bimbang
mengenai alasan yang ia kemukakan, tapi akan satu hal dia yakin: bahwa dia
belum siap menjadi pembimbing spiritual bagi orang-orang tersebut. Dia telah
berjalan sampai ke dinding-dinding pengetahuan ayahnya untuk sekadar menemukan
bahwa ternyata masih ada lebih banyak dan bahkan jauh lebih banyak ruang di
luar sana. Bagaimana dia bisa membimbing penduduk jika dia sendiri kehilangan
jatidirinya?
Kemudian dia menenggelamkan dirinya dalam
buku-bukunya, mencari jawaban dalam halaman-halaman bukunya bak seorang
petualang yang tersesat yang kemudian mati-matian membaca peta dengan cermat. Dia
menolak semua kawan dan hiburan. "Dia dirundung kesedihan," kata
beberapa orang. "Biarkan dia sendirian, sampai luka-lukanya sembuh."
"Dia tidak sama dengan ayahnya,"
ujar yang lain, "Dan, dia itu malu-malu."
"Atau takut-takut."
"Tapi dia punya kewajiban terhadap
kita," timpal yang lain. "Apa pun perasaannya, dia harus bisa
mengesampingkannya." Baha Walad tidak hanya menjadi ayahnya saja--ia ayah
kita semua juga; kita memberinya baju, makanan, dan mendidiknya dalam masa
persiapan sampai dengan hari ini. Sekarang dia harus membayar utangnya
itu."
Hanya seorang yang tahu isi hati Rumi, dan
orang itu masih asing bagi Konya. Dia terbungkus dalam jubah wol. Dialah Sayyid
Burhan.


Post a Comment Disqus Facebook