Seorang Sufi tidak akan mengaku dirinya Sufi. Yang pasti, seseorang yang tidak dibimbing oleh seorang Mursyid (Guru Ruhani) tidak selayaknya menganggap dirinya Sufi. Terkadang, mereka yang sampai ke maqam yang tiada maqam pun hanya mengaku dirinya salik (pemula jalan sufi). Mereka yang dibimbing sampai ke maqam yang tiada maqam tentunya diajari oleh Allah s.w.t sendiri.
Perjalanan Hidup Ahli Sufi
Jalan Sufi akan melalui inisiasi (initiation) contohnya pada awal perjalanan mereka akan bermimpi musyafahah (bersalaman) dengan ummahatul mukminin Sayyidatina Aisyah (berjumpa Syekh Abdul Qadir Jilani rah. beliau bermimpi menyusu (sebagai seorang bayi) dengan Sayyidatina Aishah r.anha). Dalam perjalanan peningkatan maqam, mereka akan dihadiahkan khirqah atau jubah oleh guru mursyid mereka – berjumpa Syekh Al-Busiri (pengarang Shalawat Burdah) beliau bermimpi berjumpa Rasulullah s.a.w langsung diberi hadiah sehelai burdah kepadanya. Mereka diajari oleh Allah s.w.t untuk mengamalkan zikir dan wirid berdasarkan perhatian (pembukaan) yang telah ditunjuki oleh Allah s.w.t, contohnya mereka akan melihat jasad mereka yang sedang sakaratul maut memberi salam “Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh ilayaumilkiyamah” (kaki kanan beri salam kepada kaki kiri, tangan kanan memberi salam kepada tangan kiri dan seterusnya) – maka, mereka pun menggunakan salam ini kepada orang-orang yang dikasihi mereka.
Allah s.w.t akan memberi nama rahasia kepada mereka sebab nama yang diberikan oleh ibu bapa mereka tidak menepati kehendak Allah s.w.t atau mungkin Allah sengaja ingin merahasiakan nama mereka dikalangan manusia sendiri. Ini dibuktikan dengan pelbagai riwayat dimana nama para anbiya’ termasuk nama Rasulullah s.a.w sendiri diberi oleh Allah s.w.t melalui mimpi. Dikalangan sahabat nama Sayyidina Ali k. juga diberi oleh Allah s.w.t kepada ibunya melalui mimpi. Dalam perjalanan hidupnya mereka akan mengalami mi'raj – seperti Nabi s.a.w sebab perkara ini adalah sunnah. Ada beberapa macam mi'raj: satu mi'raj dalam mimpi, satu lagi ketika melaksanakan shalat (selalu akan berada di Sidratul Muntaha) dan satu lagi ketika melakukan zikir atau dalam keadaan pingsan sebab rindu-dendam kepada Allah s.w.t (selalu ke bawah Arsy). Isra’ pula selalu dilaksanakan ketika shalat juga yaitu menghantar ruh memasuki Ka'bah.
Seorang ahli Sufi itu akan mencapai haqqul yakin sebab Allah s.w.t memberi peluang untuk dia melihat surga, neraka, Sidratul Muntaha (dan melihat penempatannya di situ) titian syirat dan lain-lain. Sebagian besar penyingkapan ini berlaku ketika ahli Sufi ini melakukan zikir atau puji-pujian kepada Allah atau ketika membaca Shalawat, diiringi oleh para malaikat, dibawa oleh Nabi s.a.w atau para sahabat baginda dan para wali qutub. Dia akan dibimbing oleh gurunya untuk melaksanakan shalat daim (senantiasa selalu zikir) dan duduk dalam keadaan senantiasa fana’ atau lebih tinggi lagi dari fana’ yaitu baqa’ billah. Dia tahu kedudukan mengingat Allah s.w.t diwaktu pagi dan diwaktu petang sebab dia dapat meletakkan kepentingan itu untuk melihat wajah Allah (maksimum dua kali dalam sehari) disurga nanti. Dia dapat menyelami keadaan mengapa jika kita membuat satu bulatan (contohnya ketika bertahlil atau membaca Yasin) tidak dibenarkan seseorang duduk di dalam bulatan itu apa yang ada di tengah bulatan itu dapat dilihatnya.
Keadaan (atau hal) seorang Sufi
Seorang ahli Sufi dapat membuktikan apa yang orang awam selalu tanyakan dan tidak dapat menjawabnya: apa buktinya Fatihah itu Ummul Kitab? Dengan membaca Fatihah kepada seseorang Nabi a.s atau malaikat, Nabi a.s atau malaikat itu terus hadir dihadapannya–itulah pembuktiannya. Hal atau keadaan seorang Sufi senantiasa menuju kearah insanul kamil (atau nafsu kamaliyah). Jika dia berada lama dalam hal ini, diharuskan turun balik ke nafsu mutmainnah karena menjadi tugasnya untuk bercampur dengan manusia dan menyebarkan misinya untuk membawa manusia mengenal Allah s.w.t. Dia membawa nubuwwah dalam wilayah, karena wilayah itu lebih umum (general) dari nubuwwah. Dia akrab dengan al-Quran dan memahami hakikat al-Quran dalam dirinya – itu sebabnya akalnya bernama aqal Qur’ani (ini terbukti mengikuti sunnah sebab Nabi Muhammad s.a.w sendiri diuraikan oleh Sayyidatina Aisyah r.a sebagai Quran berjalan). Antara hal-hal yang pelik yang berlaku ialah Quran turun dari langit terus masuk ke kepala dan dadanya (dua peristiwa yang berbeda) selalu pada suatu malam Jum'at atau ketika waktu khutbah Jum'at. Dengan prasyarat (dalam bentuk tajalli ini) ini dia akan dapat memahami makna batin al-Quran (selain daripada makna dzahir yang boleh dipelajari dari tulisan para Imam-imam mufassirin yang terkenal seperti Ibn Kathir, al-Qurtubi dll), had dan mathla’nya. 4 dimensi al-Quran ini pula melambangkan penjabaran tentang rahasia alam nasut (makna dzahir), alam malakut (makna batin), alam jabarut (hadd) dan alam lahut (mathla’). Dalam maqam-maqam dan waktu tertentu ahli Sufi ini akan diajari oleh salah seorang dari 25 nabi-nabi a.s. Itu sebabnya Ibn Arabi menulis kitab Fusus al-Hikam untuk menerangkan dan menguraikan hikmah-hikmah para anbiya’ tersebut untuk ahli Sufi akan datang karena hikmah mengatasi ilmu pengetahuan manusiawi. Dia dapat dengan inayah Allah s.w.t mengosongkan jiwanya untuk menerima hikmah ini karena ilmu kenabian dan wilayah adalah ilmu yang tidak berdasarkan akal melainkan diganti oleh Allah s.w.t dengan akal Qur’ani, bukan akal biasa yang berfikir mengikut hukum fisik (sebab musabab).
Diantara bukti atau tanda kenaikan maqam seseorang ahli Sufi ialah penerimaan khirqah (jubah) atau mungkin burdah (serban atau kain penutup kepala). Ini selalu diterima atau disampaikan oleh gurunya daripada orang lain. Dengan memakainya dia akan dapat bertabarruk dan dapat mengalami hal (keadaan) orang yang pernah memakainya – contohnya dapat melihat cahaya Allah s.w.t seperti yang dialami Nabi Musa a.s. Penyingkapan lain diantaranya ialah mengalami dan menyelami zaman.
Post a Comment Disqus Facebook