SAYA telah menerjemahkan diwan-diwan Rumi, yakni sajak-sajak pujiannya kepada guru makrifatnya, Syamsi Tabriz, bersama-sama dengan petikan dari Masnawi, dalam buku saya Rumi: Sufi dan Penyair (Pustaka, Bandung, 1985)- Pembicaraan dalam esai saya di buku itu lebih banyak ditujukan kepada diwan-diwan Syamsi Tabriz yang romantik. Sekarang, saya merasa perlu membicarakan karyanya Masnawi, yang terdiri dari enam jilid setebal 2.000 halaman itu, suatu untaian puisi yang sangat menarik dan dalam. Nicholson adalah sarjana Inggris yang telah berhasil menerjemahkannya secara lengkap, dan melalui upayanya itulah Rumi dikenal di berbagai belahan dunia di masa modern ini.
Dalam Masnawi, kita menjumpai Rumi bukan lagi seorang Sufi yang romantik, tapi seorang Sufi yang telah matang dan arif. Kitab ini merupakan karya mengenai perjalanan kerohaniannya dalam mencari Yang Kekal. Apabila dia mengungkapkan pengalaman religiusnya lewat puisi, oleh karena dia sadar bahwa prosa yang dingin dan kaku, sejauh pengalamannya sendiri, hanya mampu menarik sedikit pendengar. Prosa ternyata kurang menggerakkan hati para pengikutnya, dan hal mi kelak juga disadari oleh Iqbal, murid spiritualnya tujuh abad kemudian.
Sebagai karya yang berisikan butir-butir filsafat dan gagasan keagamaan, Masnawi memang bukan merupakan buku filsafat yang ditulis secara sistematik dan runtut. Rumi memencarkan pikiran-pikirannya dalam untaian-untaian puisi, sebagaimana Nietzsche dalam bukunya yang masyhur Also Spracht Zarathustra. Namun, apabila diteliti secara mendalam, untaian puisi yang tak habis-habisnya itu mampu membentuk jalinan pemikiran yang saling berkaitan satu sama lain. Whinfield misalnya mengatakan bahwa Masnawi merupakan eksposisi mistisisme eksperimental, bukan uraian mengenai ajaran tasawuf.
Rumi menggunakan perbandingan-perbandingan dan perumpamaan-perumpamaan menarik, termasuk perumpamaan berupa kisah-kisah dari al-Qur’an, cerita rakyat, dan kisah-kisah yang masyhur dalam kesusastraan Arab dan Persia. Biasanya penggunaan perumpamaan semacam itu dalam karya sastra mana pun kerap disadari sebagai tujuan untuk menyusun suatu kisah didaktik. Tetapi Rumi lebih dari sekadar menyusun kisah didaktik, berbeda jauh misalnya dari Sa’di. Dalam karya agungnya itu Rumi terutama sekali ingin memberikan pesan-pesan religius dan mistik mendalam yang memiliki kualitas puitik, sehingga yang sesuai bagi ekspresinya tentulah puisi, bukan prosa. Dan melalui puisi, bukan dalam prosa yang deskriptif, yang hadir kepada pembaca bukan lagi pikiran-pikiran atau gagasan-gagasan, melainkan pribadi si penggubah yang jiwanya melimpah dengan kearifan-kearifan dan gagasan-gagasan.
Sebelum membicarakan Masnawi, saya akan membicarakan dahulu perihal pengalaman religius, hubungannya dengan cinta dan kedudukannya dalam karya Rumi, sebab memang cintalah yang merupakan inti ajaran Rumi, dan cinta pulalah tema sentral Masnawi.
Seluruh karya Rumi dilatari oleh pengalaman religius, dan pengalaman religius inilah yang ingin diungkapkan oleh Rumi, dengan segala seginya yang aneka ragam dan luas rangkumannya. Pengalaman religius tidak berarti suatu pengalaman yang dipompa oleh observasi terhadap larangan-larangan agama dan hukum, melainkan suatu pengalaman yang memiliki tenaga hidup oleh karena dibakar api cinta. Bagi Rumi, cinta berarti “suatu perasaan semesta (kosmik), suatu spirit kesatuan dengan Alam Semesta.”
Kata Rumi, cinta adalah suatu pemulihan terhadap kesombongan diri kita yang berlebihan. Ia adalah tabib semua kelemahan. Hanya dia yang memakai jubah yang dibeli dengan cinta akan benar-benar menjadi murni jiwanya. Cinta adalah kekuatan yang menggerakkan alam semesta. Oleh karena cintalah segala sesuatu berjalan tanpa henti menuju asal-usulnya, Tuhan, yang merupakan tujuannya sekaligus. Dan adalah cinta yang bisa memberikan makna yang luas dan dalam terhadap kehidupan ini.
Dalam cinta kekuatan-kekuatan alam mencapai suatu kesatuan yang unik. Makin seseorang itu mencintai, makin dalam dia menembus ke dalam tujuan-tujuan ilahi kehidupan. Cinta adalah “astrolobe rahasia langit.”
Ada tiga ciri cinta dikemukakan oleh Rumi dalam Masnawi. Pertama, bentuk apa saja yang diekspresikan oleh cinta adalah baik, bukan oleh karena ia merupakan ekspresi khusus, akan tetapi oleh karena ia merupakan ekspresi cinta. Kedua, cinta berbeda dari perasaan suka dan duka. Ia tidak menuntut pahala, tak memperdulikan hukuman dan neraka, seperti tampak dalam doa-doa Rabi’ah al-Adawiyah yang begitu indah. Ketiga, cinta meninggikan / mentransendensikan intelek. Sebab kita tidak hidup untuk berpikir, tetapi kita berpikir untuk hidup.
Rumi (1207-1273 M) menyebut Masnawi sebagai “Cahaya bagi kawan-kawan seperjalanan dan harta terpendam bagi pewaris jalan kerohanian.” Buku ini dimulai dengan kisah seruling yang suaranya sendu menyayat oleh karena terpisah dari induknya, batang bambu. Rasa terpisah dari asalnya yang membuat dia menyanyi penuh kerinduan, dan jalan untuk sampai kepada tujuan kerinduannya hanya mungkin bila melalui cinta. “Setiap orang yang tinggai jauh dari sumbernya ingin kembali ke saat ketika dia bersatu dengannya,” kata Rumi. Jadi Ide lagu seruling dia pakai untuk mengisahkan kerinduan mistis. Sumber segala eksistensi adalah Tuhan, dan kepada-Nya kita akan kembali. Dengan begitu dasar dari semua keberadaan adalah bersifat kerohanian. Manusia adalah makhluk teomorfis, yang menyimpan di dalam dirinya seberkas cahaya ilahi, dan karena itu tujuan terdalam kehidupan insan itu bersifat ilahiyah. Bila ia mampu menyerap sifat-sifat Tuhan, maka ia akan menjadi pribadi yang teguh, dan layak menjadi khalifah Allah di muka bumi yang tugasnya menyampaikan risalah ilahi. Hubungan tubuh dan jiwa, atau roh, itu dekat. Dan pribadi yang utuh, diri yang sampai ke jati dirinya, adalah diri yang tumbuh dari diri semesta. Pribadi semacam inilah yang mampu mcngenali hubungan dan kesatuan tubuh, jiwa dan roh. Memang roh tidak terdinding dari tubuh, tetapi mata manusia tidak diizinkan melihat roh. Untuk merasakan kehadiran roh, manusia harus melakukan perjalanan diri yang jauh, melalui penembusan cinta. Cinta memperluas kesadaran jiwa, dan kesadaran jiwa sama sekali tidak akan pernah bisa digerakkan oleh iogika.
Rumi berpendapat bahwa manusia adalah mikrokosmos {‘alam saghir, jagat cilik) yang mampu menyerap makrokosmos (‘alam kabir, jagat besar) di dalam bingkainya yang kccil. Ada ratusan dunia tak terlihat di dalam diri manusia, sehingga seorang penyair tidak patut mencari keindahan di luar jati dirinya. Kata Rumi dengan indah, “Kau sendiri adalah (seluruh) masyarakat, kau satu dan ratusan ribu jumlahnya.” Intelek manusia mampu menerangkan rahasia ini sampai sedalam-dalamnya bila digosok oleh cinta. Para ahli makrifat, para wali, yang merupakan “intelek dari intelek” akan mampu menerangkan rahasia ini pada seorang pencari.
Apabila orang berkata bahwa Nabi hanyalah seorang manusia, tak lebih, maka ia berbicara demikian oleh karena kebodohannya. Mereka gagal melihat bahwa di dalam diri Nabi ada kilatan cahaya yang menerangi kalbunya, oleh karena Nabi adalah insan yang telah memperoleh pencerahan yang agung. Rumi tak jemu-jemunya dalam karyanya itu mengemukakan batas-batas penalaran akal manusia. Misalnya melalui kisah seorang ahli tata bahasa yang pandai. Suatu ketika ahli tata bahasa naik perahu tambang menyeberangi sungai yang lebar dan dalam. Ia bertanya kepada tukang perahu, apakah ia tahu tentang tata bahasa. Tukang perahu menjawab tidak tahu. Lalu ahli tata bahasa yang sombong berkata bahwa kalau begitu sia-sia hidupnya. Kemudian tukang perahu bertanya kepadanya, apakah dia bisa berenang. Ahli tata bahasa menjawab tidak bisa. Lalu tukang perahu berkata, kalau begitu hidup ahli tata bahasa akan sia-sia, sebab sebentar lagi arus akan kencang dan banjir segera tiba.
Secara sederhana, namun tepat, Rumi melukiskan betapa orang yang paling terpelajar di suatu bidang, bisa menjadi bodoh dalam bidang yang tidak ia pelajari. Ahli tata bahasa ia misalkan sebagai ahli-ahli ilmu formal, sedangkan tukang perahu adalah para Sufi. Rumi ingin mengatakan dalam kisah ini bahwa pengalaman langsung dalam kehidupan lebih penting daripada sekadar ilmu pengetahuan. Orang yang berpengalaman akan lebih mudah menghadapi kehidupan dan malapetaka dibanding orang tak berpengalaman langsung, sekalipun ilmu pengetahuan yang dia miliki banyak.
Puncak cinta adalah kefanaan diri, dan dengan begitu memasuki tahap baqa’. Di sini seseorang tidak lagi dibebani oleh kepentingan nafsu rendah atau diri sendiri dalam melaksanakan tugas kewajibannya. Bila keadaan ini telah dicapai, maka seseorang akan menemukan hukum dari hukum, tata bahasa dari tata bahasa, yaitu intisari dari ilmu-ilmu tersebut.
Pencerapan indera atau pengalaman empiris adalah kunci bagi ilmu-ilmu lahir. la tidak akan mampu membawa seseorang ke tingkat kerohanian yang tinggi. Hanya pengalaman rohani, pengalaman religius atau mistis yang mampu membawa seseorang ke tingkat pengetahuan yang lebih tinggi. Karena itu, Rumi berpendapat bahwa tak perlu ada pertentangan antara ilmu lahir dan ilmu kerohanian, antara kehidupan duniawi dan kehidupan ukhrawi. Keduanya sama bermanfaat dan diperlukan, dan harus berjalan secara berimbang.
Kehidupan lahir dan rohani, sosial dan kerohanian, politik dan agama, merupakan suatu kesatuan yang tak terpisahkan sebagaimana agama mengajarkan. Seorang pemeluk agama yang baik akan timpang jika hanya menuntut ilmu keduniawian, tanpa mempelajari ilmu kerohanian, dan sebaliknya hanya menuntut ilmu kerohanian namun tak menuntut ilmu keduniawian. Menurut Rumi, hidup harus diterima dengan penuh tanggung jawab, sebab ia adalah anugerah Tuhan. Bahaya dan kesulitan-kesulitannya harus dihadapi dengan tabah, dengan kerja keras dengan cinta dan dengan keberanian mencapai cita-cita. Baik dan buruk, sedih dan senang, tak perlu terlalu dipikirkan. Keterbatasan intelek harus diterobos dengan kekuatan cinta dan iman. Bagi seorang yang beriman, bahkan bahaya pun akan merupakan bagian dari pertimbangan hidup. Tegar dalam menghadapi bahaya dan kejahatan, dengan menerobos keterbatasan intelek, akan membuat pikiran kita terbuka. Dan itu adalah jalan bagi seseorang untuk memperoleh visi tentang hakikat kehidupan.
Seseorang yang telah mengalami pencerahan, menurut Rumi, akan mampu melihat dunia dalam perspektif yang berbeda. Sejarah umat manusia menunjukkan bahwa hanya nabi-nabi yang mampu menunjukkan jalan kepada manusia apabila mengalami jalan buntu. Ini oleh karena nabi-nabi telah mengalami pencerahan batin, dan mampu dengan kekuatan jiwa dan rohaninya melihat dunia dalam perspektif yang lain. Kekuatan melihat dari perspektif lain, dari sudut yang hakiki dan vital, membuat nabi-nabi mampu menggerakkan dan mengubah jalannya sejarah. Terutama junjungan kita Nabi Besar Muhammad Rasulullah.
Para ahli makrifat, wali dan santri, adalah orang-orang yang meneladani Nabi dalam upayanya memperoleh jalan pencerahan ini. Mereka tidak terpaku pada pengetahuan formal dan ilmu-ilmu resmi, oleh karena itu mereka mampu mengangkat tinggi dirinya. Menurut Rumi, setiap kedai menyediakan barang dagangan tertentu. Masnawi adalah kedai kesatuan (tauhid). Katanya: “Masnawi kami adalah kedai kesatuan. Apa pun yang kausaksikan di sisi Yang Satu adalah sebuah berhala.” Jadi selain Allah itu berhala, bukan Tuhan. la juga mengatakan, “Kubayangkan rima puisi, dan kekasihku berkata, ‘Jangan pikirkan segala sesuatu kecuali penglihatan atas-Ku.'”
Penalaran dan pemahaman membedakan manusia dari binatang, dan untuk tetap menjadi manusia, penalaran dan pemahaman harus selalu digunakan. Akan tetapi, penalaran saja takkan dapat mengantar manusia menuju pemahaman akan hakikat. Pemahaman akan hakikat akan tercapai apabila seseorang mampu menyatukan kehendak dirinya dengan kehendak Pribadi Semesta (Tuhan). Apabila sampai pada tahapan ini, tidak ada lagi persoalan antara takdir dan kehendak bebas. Dengan kehendak bebasnya manusia berada di jantung takdir, dan ia tidak akan goncang karenanya. Inilah puncak buah ketakwaan kepada Tuhan.
Dalam puncak ketakwaan inilah orang memperoleh makrifat, pencerahan. Dan jika takdir dan kehendak bebas sudah tidak menjadi persoalan lama, maka “Duka cita akan menjadi suka cita dan belenggu (Tuhan) akan menjadi kebebasan.” Inilah tahap pencerahan, tahap penemuan potensi diri atau jati diri yang paling tinggi. Menurut Rumi, percaya kepada Tuhan adalah kualitas dasar orang yang beriman. Akan tetapi, ia tidak bisa menolak keperluan berusaha dan mencari kehidupan. Tuhan tak pernah berhenti bekerja, dan manusia yang ingin menyerap sifat-sifat Tuhan juga harus tak pernah berhenti bekerja. “Jika kau mempercayai Tuhan, percayalah kepada-Nya ketika Dia memandang kerjamu: tanamlah benih dulu (sebaik-baiknya dan sebanyak-banyaknya), baru bertopang kepada Allah.”
Atau kata Rumi dalam larik sajaknya yang lain: “Lebih baik bertarung dengan penuh kepedihan daripada bersantai. Di jalan ini biarlah kau terperosok dan mendapat tantangan terus sehingga nafasmu yang penghabisan.”
Dalam sajak yang lain dia menulis pula:
“Ketika kaumulai menaruh muatan di kapal, yakinlah bahaya pasti sedang melintang.
Sebab kau tak tahu apakah kapal akan tenggelam atau selamat tiba di daratan.
Jika kau berkata, “Tak mau aku berangkat sebelum pasti tentang nasibku.”
Maka kau takkan berniaga; rahasia untung dan rugi takkan pernah terungkap bagimu.
Pedagang yang berhenti lemah takkan merasakan untung atau merasakan hikmah dari rugi.
Malah dia sangat rugi: seseorang harus menyalakan api agar memperoleh cahaya.
Karena semua kejadian berjalan di atas harapan, tentulah tujuan terbaik dari harapan adalah Iman.
Hanya dengan Iman kau akan memperoleh keselamatan.
(Lihat, Rumi: Sufi dan Penyair, Pustaka, 1985)
Rumi adalah seorang evolusioner kreatif. Evolusi yang dimaksud Rumi adalah evolusi kerohanian, bukan perubahan bentuk jasmani. Prinsip evolusioner dari rohani adalah cinta, dan cinta pulalah prinsip dari segala keberadaan. Ia mencontohkan Adam. Adam diberi pengetahuan tentang nama-nama (pengetahuan ‘aqliah), namun jatuh dari surga. Dia mencoba menafsirkan perintah kejatuhannya. Dalam menafsirkan kejatuhannya itu ia merasakan keterbatasan intelek dalam upaya memahami misteri kehidupan. Karena itu, ia memerlukan petunjuk Tuhan, wahyu. Ini membuktikan bahwa akal semesta lebih tinggi daripada intelek.
Demikian ikhtisar ajaran Rumi seperti termaktub dalam kitabnya yang profetik Masnawi. Kitab ini terdiri dari 26.000 baris sajak. Pelaku kisah, perlambangan dan pelukisan yang dipakai bersifat serba guna dan serba pakai. Ia bisa ditafsirkan secara mistis, keagamaan maupun secara sosial.***
Oleh: Abdul Hadi W.M.
Post a Comment Disqus Facebook